Dalam catatan sejarah Tiongkok, seperti "Yuejue Shu" dan "Zheng He," disebutkan tentang hubungan baik antara Sriwijaya dan dinasti-dinasti di Tiongkok, yang memperkuat posisi Sriwijaya sebagai pusat perdagangan dan kebudayaan.
BACA JUGA:Dari Jayasingawarman hingga Purnawarman: Mengungkap Sejarah Kerajaan Tarumanagara
Kemajuan Ekonomi
Keberadaan pelabuhan yang strategis dan sumber daya alam yang melimpah membuat Sriwijaya menjadi pusat perdagangan penting.
Rempah-rempah, tekstil, dan barang-barang mewah lainnya menjadi komoditas utama yang diperdagangkan.
Sriwijaya juga mengembangkan sistem administrasi yang efisien untuk mengelola perdagangan dan pajak, sehingga menarik lebih banyak pedagang dari berbagai daerah.
Masa Kejayaan dan Keruntuhan
Sriwijaya mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-9 dan ke-10.
BACA JUGA:Mengenal Sejarah Kerajaan Tanjungpura, Pusat Kekuasaan Kuno di Kalimantan
Namun, pada abad ke-11, kekuatan kerajaan ini mulai mengalami kemunduran.
Serangan dari kerajaan-kerajaan tetangga, seperti Majapahit dan Chola dari India, serta pergeseran jalur perdagangan, menyebabkan kekuasaan Sriwijaya mulai berkurang.
Pada tahun 1025, serangan Chola yang dipimpin oleh Raja Rajendra Chola I menjadi titik balik yang signifikan, menandai melemahnya pengaruh Sriwijaya di kawasan tersebut.
Meskipun mengalami kemunduran, warisan budaya Sriwijaya tetap hidup. Banyak tradisi, bahasa, dan praktik keagamaan yang berkembang di wilayah Sumatera Selatan dipengaruhi oleh kebudayaan Sriwijaya.
BACA JUGA:Sejarah Kerajaan Sumedang Larang: Dari Awal Berdiri hingga Masa Kejayaan
Penemuan arkeologis, seperti prasasti dan artefak, terus menggali informasi baru mengenai kehidupan sosial, politik, dan budaya masyarakat Sriwijaya.
Pusat Kebudayaan Sriwijaya adalah contoh nyata dari kemajuan peradaban maritim di Asia Tenggara.