Perang Puputan Melawan Penjajah Belanda
Perang puputan hanya tercatat terjadi pada masa penjajahan Belanda.
Sebelum itu, meskipun sering terjadi peperangan antar kerajaan di Bali, belum pernah terdengar adanya perang puputan.
Hal ini karena etika peperangan masih dijunjung tinggi oleh para pihak yang bertikai, dan persenjataan yang digunakan kedua belah pihak masih berimbang.
BACA JUGA:Tragedi Perang Dunia II: Temuan Baru Mengenai Korban Kekejaman Nazi di Belarus
Namun, saat menghadapi penjajah Belanda yang dipersenjatai dengan senjata modern seperti senapan, meriam, bahkan tank lapis baja, rakyat Bali harus berjuang dengan keris, tombak, dan bambu runcing.
Meski mengetahui akan kalah, rakyat Bali tidak pernah menyerah, dan perang adalah satu-satunya pilihan mereka.
Lima Perang Puputan di Bali
1. Puputan Jagaraga (1846)
BACA JUGA:Rencana Kenaikan Tarif Impor hingga 200 Persen, Perlindungan Industri atau Isyarat Perang Dagang?
Perang puputan pertama terjadi pada tahun 1846 di Den Bukit, wilayah yang sekarang menjadi Kabupaten Buleleng.
Perang ini dipimpin oleh Anak Agung Jelantik yang memutuskan untuk melakukan perang puputan setelah politik tawan karang yang diberlakukan oleh Kerajaan Den Bukit tidak diterima oleh Belanda.
Meskipun menghadapi kekuatan militer Belanda yang jauh lebih superior, rakyat Den Bukit tidak menyerah.
Perang berakhir dengan jatuhnya Den Bukit ke tangan Belanda, meskipun beberapa pemimpin berhasil melarikan diri ke wilayah Karangasem untuk menyusun kekuatan baru.
BACA JUGA:Kisah Ratu Shima, Menghadapi Ancaman dan Mempertahankan Kalingga dari Ancaman Sriwijaya
2. Puputan Kusamba (1849)