Perjalanan Lonceng Cakra Donya Melalui Berbagai Zaman
Pada abad ke-16, Kesultanan Samudera Pasai berada di bawah kekuasaan Kesultanan Aceh Darussalam, dan lonceng ini dibawa ke pusat Kesultanan oleh Sultan Ali Mughayatsyah.
Pada abad ke-17, Sultan Iskandar Muda menempatkan lonceng ini di kapal perang Aceh yang juga dinamakan Cakra Donya.
Fungsi utama lonceng ini adalah sebagai alat pemanggil saat terdapat bahaya di laut dan sebagai pemberi aba-aba dalam perang.
BACA JUGA:Batu Ajaib dari Langit? Mengupas Kisah Penemuan Meteorit Maryborough yang Menggemparkan!
Namun, perjalanan lonceng ini tidak selalu mulus. Pada suatu masa, lonceng ini sempat dibawa oleh Portugis ketika mereka berhasil merebut kapal Aceh.
Beruntung, Cakra Donya dikembalikan ke Kesultanan Aceh dan kemudian digunakan sebagai penanda azan dan berbuka puasa, serta sebagai tanda berkumpul untuk mendengarkan maklumat Sultan.
Lonceng Cakra Donya di Era Modern
Pada abad ke-19, Lonceng Cakra Donya digantung di bawah pohon di depan kantor Regional Belanda di Kuta Raja.
BACA JUGA:Berkedok Demi Kesejahteraan Rakyat! Inilah Ritual Menyimpang Raja Kertanegara
Namun, pada bulan Desember 1951, lonceng ini dipindahkan ke Museum Aceh dan menjadi salah satu koleksi yang berharga.
Dengan pemindahan ini, Lonceng Cakra Donya tidak hanya berfungsi sebagai artefak sejarah, tetapi juga sebagai simbol keberlanjutan budaya dan sejarah Aceh.
Makna dan Signifikansi Lonceng Cakra Donya
Lonceng Cakra Donya bukan hanya sebuah benda pusaka, tetapi juga simbol dari hubungan diplomatik yang kuat antara Kesultanan Samudera Pasai dan Dinasti Ming.
BACA JUGA:Peninggalan Bersejarah Candi Arjuna yang diyakini Miliki Segelintir Kisah Menarik!
Lonceng ini juga mencerminkan kekuatan maritim dan kebesaran Kesultanan Aceh Darussalam di masa lalu.