Sebagai penjual kopi, sepertinya dia telah bergaul dengan banyak orang. Caranya bicara seperti orang dewasa.
Guyonannya pun renyah menggelikan.
Setelah saling memojokkan perihal perempuan, kami terdiam hingga beberapa kali isapan rokok. Kami bertiga kemudian berbisik-bisik untuk memperhitungkan rencana nekat ini.
BACA JUGA:Dibalik Pesona Kota Pagar Alam, Inilah 3 Misteri dan Keajaiban Alam yang Memikat
"Kalau mati di sana ibuku akan bingung mencariku," bisik Marwal yang tiba-tiba bermental pecundang. Dari awal aku memang meragukan tekadnya.
Kukira keikutsertaannya pergi ke Air Terjun Sono Kliwon hanya untuk menepis anggapan Aira, cewek yang ia taksir.
Gadis itu menganggap Marwal bukan tipe lelaki yang macho.
Marwal yang alumni pesantren pernah menepis anggapan itu dengan dalil-dalil berbahasa Arab, tapi Aira tetap tak mau bersimpati pada pendekatannya yang berbau syari itu.
BACA JUGA:Mengerikan, Misteri Ular Berkepala 3 yang Miliki Mitos dan Fakta!
"Kalaupun mati di sana, aku tak perlu repot memikirkan judul skripsi," timpal Kriting lirih. "Aku akan terbebas dari utang-utang makan di kantin dan uang sewa kos yang lama nunggak," sahutku.
"Setidanya kita mati untuk sebuah perjuangan," imbuhku lagi. "Perjuangan apa, Tang?" tanya Marwal.
"Memajukan desa inilah! Mati syahid kita!" sahutku cepat dan tangkas.
"Perjuangan tahi kucing! Kamu berani mati karena takut menghadapi tagihan utang! Kriting juga, berani mati karena menghindari ruwetnya skripsi! Itu namanya mati untuk melarikan diri dari masalah, bukan perjuangan!" Marwal berapi-api.
Tampak macho juga sebenarnya dia jika sedang emosi begini. Sayang Aira tak ikut ke sini. "Dasar anak mama!" Kriting memekik.
"Dasar pecundang! Cari mati karena lari dari masalah!" "Dasar budak cinta! Takut mati karena wanita!" tepisku lantang.