Dia mengatakan, larangan menggali kuburan umat Islam adalah kebijakan di sebagian besar dunia Islam, bukan hanya di Timur Tengah.
BACA JUGA:Penemuan Arkeologis di Inner Mongolia, Cangkang Naga yang Mengungkap Sejarah Budaya Hongshan
BACA JUGA:Desa Bejijong, Tempat Bersejarah yang Membawa Kembali Kehidupan dan Kebesaran Majapahit
Ia tidak mempermasalahkan pencabutan larangan tersebut karena menurutnya penting bagi akademisi untuk menghormati budaya di negara tempat mereka melakukan penelitian.
Namun kebijakan tersebut telah mengubah pandangan para arkeolog mengenai sejarah terkini di wilayah tersebut.
"Arkeologi di dunia Islam cenderung mengarah ke seni, yang berfungsi untuk memperkuat pandangan tentang hal-hal indah dan arsitektur daripada gambaran keseluruhan," jelasnya.
"Kami tidak tahu apa-apa tentang catatan penyakit. Kami mendapat gambaran tentang usia kematian dari batu nisan, tapi hanya orang kaya yang mampu membeli batu nisan," tambahnya.
BACA JUGA:Sejarah Bajak Laut di Kekaisaran Tiongkok, Berlayar Bersama Armada 80.000 Perompak
BACA JUGA:Firaun Punya Lima Nama Berbeda, Begini Sejarah Mesir Kuno
Selain itu, para arkeolog di wilayah tersebut tidak mengetahui banyak tentang kematian anak, kematian gender, atau pola migrasi manusia karena studi tentang kuburan Muslim tidak diizinkan.
Almahari ingin mengambil DNA dari tulang-tulang di Bahrain dan membandingkan hasilnya dengan orang-orang yang saat ini tinggal di sana untuk mendapatkan gambaran tentang migrasi di masa lalu.
"Saya ingin tahu dari mana orang-orang tersebut berasal dan kapan mereka tiba di Bahrain. Saya berharap kita bisa melakukan ini," katanya.
Analisis DNA semacam itu tidak memerlukan seluruh kerangka untuk dibawa ke laboratorium. Hal ini dapat dilakukan dengan potongan-potongan yang terkelupas dari tulang.
BACA JUGA:Firaun Punya Lima Nama Berbeda, Begini Sejarah Mesir Kuno
Namun, mengambil jenazah untuk mengambil sampel masih dipandang sebagai prosedur invasif.