PAGARALAMPOS.COM - Legenda dan cerita rakyat mengenai Si Pahit Lidah sangat populer di bagian selatan Sumatera, termasuk Sumatera Selatan, Bengkulu, dan Lampung. Kepopuleran cerita ini tetap kuat hingga kini, baik di kalangan masyarakat yang mewarisi legenda ini secara turun-temurun maupun di dunia maya yang kini sangat diminati.
Cerita ini tidak hanya dikenal di komunitas yang meyakini kisah Si Pahit Lidah, tetapi juga telah meluas ke seluruh nusantara dan bahkan dunia.
Si Pahit Lidah adalah nama julukan untuk Serunting, seorang pangeran dari Sumatera Selatan yang dikenal memiliki kekuatan gaib tinggi. Namun, kesaktiannya kalah oleh adik iparnya, Aria Tebing, dalam sebuah pertikaian mengenai cendawan emas yang tumbuh di perbatasan ladang mereka.
Menurut versi dari Suku Serawai (Semidang Alas Bengkulu Selatan), Si Pahit Lidah berasal dari jazirah Arab dan ditugaskan oleh Batara Majapahit sebagai utusan di Negeri Bengkulu. Dalam versi ini, Si Pahit Lidah adalah keturunan kesembilan dari Diwe Gumai.
BACA JUGA:Lagi Booming di Bandung, 9 Wisata Hits di 2024
BACA JUGA:Menelusuri Bendungan Kuningan: Wisata Keluarga di Jawa Barat yang Menawan
Kisah Diwe Gumai di Bukit Siguntang mirip dengan legenda Palembang, yang menggambarkan Raja Sulan (Diwe Gumai) sebagai ayah dari Raja Mufti (Ratu Iskandar Alam) dan Raja Alim (Ratu Selibar Alam).
Anak keturunan Raja Alim kemudian hijrah ke pedalaman dan mendirikan Kerajaan Pagar Ruyung.
Dari kedua versi ini, bisa diambil kesimpulan bahwa Si Pahit Lidah adalah putra asli Sumatera yang kemudian menuntut ilmu di jazirah Arab dan setelah kembali, mengabdi di Kerajaan Majapahit.
Karena kedekatan kultural, ia diangkat menjadi utusan Majapahit untuk Negeri Bengkulu.
BACA JUGA:Rasakan Kesegaran Maksimal di 8 Destinasi Wisata Air Terbaik Bandung
BACA JUGA:Masih Hits, Inilah 8 Wisata Air Terjun yang Punya Keindahan Memukau di Lampung
Sebagai seorang ulama penyebar Islam, Si Pahit Lidah dikenal dengan julukan tersebut karena metode dakwahnya yang tegas, sering kali menyampaikan kebenaran meski terasa pahit bagi pendengarnya.
Pendekatan dakwahnya ini mendapat tantangan dari saudara iparnya, Si Mata Empat (Aria Tebing).
Keduanya sering terlibat dalam perdebatan panjang mengenai dalil, di mana pendapat Si Mata Empat lebih banyak diterima oleh masyarakat setempat, yang menyebabkan Si Pahit Lidah merasa kecewa dan memutuskan untuk terus berdakwah ke berbagai pelosok Sumatera.