Mengenal Sejarah Istilah 'Kawe' dalam Bahasa Besemah Menurut Para Ahli

Minggu 21-05-2023,00:30 WIB
Reporter : Pidi
Editor : Jukik

PAGARALAMPOS.COM -  Kata kawe dan kopi sebenarnya memiliki makna  yang sama. Tapi di Pagar Alam, pemakaian kata kawe dan kopi berbeda.

Kopi umumnya hanya disebut ketika sudah berubah bentuk menjadi minuman.  BIJI kopi itu diraup Sutrisno dari dalam karung bewarna putih lusuh. Diamati sebentar lalu Sutrisno berucap “Ini masih belum kering. 21 hargenye (harganya Rp 21 ribu per Kg),”ucap Sutrisno kepada petani kopi di depannya. Begitulah aktivitas Sutrisno siang beberapa waktu lalu, Bekerja di gudang pengepul membuat lelaki berumur 41 tahun ini selalu berhubungan dengan kopi. Sekilas saja, Sutrisno sudah paham dengan kualitas biji kopi yang dijual petani dan nilai harganya.

BACA JUGA:Gunung Lesung Bali: Keindahan Alam dan Petualangan Mendaki yang Menarik Toh, dia sulit menentukan ketika Pagaralampos.com menanyakan mana populer antara kawe dengan kopi. “Ada yang menyebut kawe, ada pula kopi. Saya kira sama saja,”ujar Sutrisno sambil tersenyum. Sutrisno pun tak tahu ihwal penyebutan nama kawe. Dia mengaku, sejak lahir pada 1962, nama kawe sudah ada dan dipergunakan masyarakat Pagar Alam.

“Lebih baik tanyanya kepada orang-orang tua saja,”ucap Sutrisno lalu tersenyum lagi. “NGUPI kudai?,”pertanyaan ini acap didengar Joko Waluyo ketika singgah di rumah kerabat maupun temannya. Ini merupakan bentuk tradisi yang mengakar di masyarakat Pagaralam untuk mengajak tetamu untuk minum kopi.

BACA JUGA:Belum Banyak yang Tahu, Ternyata Ada Spot Foto Instagramable di Kaki Gunung Sinabung Sumatera Utara  Sebaliknya Joko yang bermukim di Bangun Rejo ini tak pernah mendengar orang mengajak untuk minum kawe atau bahkan misalkan dengan ajakan seperti  “Ngawe kudai,". “Kalau ngawe kudai, kedengarannya janggal,” ucap Dr Suhardi Mukmin, ketika dihubungi pagaralampos.com. Dosen jurusan Bahasa Indonesia pada Program Pascasarjana Unsri ini mengatakan, kawe lebih tepat ditujukan kepada buah kopi yang belum diolah menjadi bubuk. Maka, kata kawe cocok disandingkan dengan memetik, menanam dan menjemur.

“Mutigh (memetik) kawe, nanam kawe dan njemugh (jemur) kawe ,itu sering didengar. Jarang kalau ada yang mutigh kopi, nanam kopi, dan njemugh kopi,”urai lelaki yang meraih gelar doktor dari UI Depok ini. Begitu jadi bubuk,barulah kata kopi digunakan. Maka, minum kopi lebih enak didengar ketimbang minum kawe. “Perbedaanya ada pada pemakaiannya saja. Kawe dipakai ketika masih berbentuk buah sampai biji. Begitu jadi bubuk minuman, namanya kopi,”terang Suhardi.

BACA JUGA:Perjalanan Sejarah dan Keunikan Suku Besemah: Budaya, Bahasa, dan Identitas yang Dilestarikan Kalender bertarikh di angka tahun 1922 ketika Hendrik van Dermak menyatakan bahwa Pagar Alam layak ditanami kopi.

“Hendrik van Dermak adalah insinyur pertanian yang ditugaskan Belanda untuk  meneliti tanah Pagaralam,” ucap Pemerhati Budaya dan Besemah, Asmadi, yang pernah menelusuri sejarah kopi robusta Pagar Alam. Sejak itulah, perkebunan kopi dibuat di Pagar Alam dan berlanjut sampai sekarang. Toh, masyarakat Besemah termasuk Pagar Alam nampaknya enggan menggunakan Bahasa Belanda untuk menyebut kopi -dalam Bahasa Belanda kopi ditulis dengan koffie. Alih-alih menggunakan Bahasa Belanda, masyarakat Besemah menggunakan Bahasa Arab, yakni qahuwa.

“Karena lidah jeme kite sulit menyebutkan kata qahuwa, yang terdengar malah kawe,” ucap Satarudin Tjik Olah, anggota Lembaga Adat Besemah, dihubungi kemarin.  BACA JUGA:Studio Alam Gamplong: Keindahan dan Rekreasi di Tengah Alam Suhardi sependapat dengan Satar. Suhardi menduga, penggunaan kata kawe merupakan pengaruh dari penyebaran agama Islam ke Tanah Besemah tempo dulu.

“Mungkin dulu banyak ulama menggunakan Bahasa Arab untuk menyebut kopi,”ucap Suhardi. Mady Lani-nama pena Asmadi- memperkirakan, penggunaan kata kawe dimulai ketika banyak pedagang Arab masuk ke Pagar Alam.

Mereka juga ikut dalam bisnis jual beli biji kopi Pagaralam. Karena orang Arab menyebut qawuha, duga Mady, lama-lama orang Besemah ikut menggunakan nama tersebut.   BACA JUGA: Menjaga Hubungan Antara Manusia dengan Lingkungan Jangan Ngotori Ayek Ulu Tulung, Kele Kebendun! Namun Refdinal, seorang Pamong Budaya Disdikbud Kota Pagaralam belum bisa bisa memastikan ihwal kata kawe berasal dari Bahasa Arab.

“Saya belum meneliti ke arah sana,” ucap Refdinal, dihubungi kemarin. Kendati demikian, Refdinal menganggap logis bila kata kawe diserap dari Bahasa Arab yakni qahuwa. “Mungkin diserap dan pengucapannya jadi berbeda,” ujar lelaki asal Padang, Sumatera Barat ini. Adapun Efvhan Fajrullah SPd, Copy Editor Pagaralam Pos, mengatakan, untuk membedakan kawe dan kopi bisa dibedah dari segi epistomologi. Kawe terang Bang Vhan -sapaan akrab Efvhan Fajrullah- adalah kata benda.

Karenanya tepat jika kawe ditujukan kepada buah kopi. Adapun kopi adalah kata kerja yang tepat disandingkan dengan kalimat ajakan seperti “Palah ngupi kudai (ayo minum kopi dulu),”.  BACA JUGA:Kuntau Suku Besemah, Menggali Kearifan Lokal dalam Seni Bela Diri Tradisional Mungkin karena itulah jarang terlihat kedai menggunakan kata kawe, baik di toko maupun di brosur menunya. Kedai Kopi Asmara yang berada di kawasan Swakarya ini misalnya. Dinding kedai yang berkelir putih ini tertulis kata-kata yang bunyinya kurang lebih sebagai berikut

“Karena kopi tak pernah memilih kepada siapa dia jatuh cinta”. Mungkin janggal kalau tulisan ini dibikin menjadi seperti ini: “Karena kawe tak pernah memilih kepada siapa dia jatuih cinta,”. Bahasa Indonesia sendiri hanya memberlakukan satu kata saja yakni kopi untuk digunakan ke semua hal: memetik, menjemur, menanam, menjual, sampai minum kopi. Tak ada perbedaan penggunaan.*

Kategori :