Salahsatu alasan Suhardi, karena guritan merupakan salahsatu sastra lisan itu memiliki semacam fenomena bombastis.
“Saya meneliti guritan karena saat ini guritan masih sering ditampilkan.
Misalkan di acara pesta perkawinan sering mengundang penggurit (penutur guritan),” ucapnya saat dihubungi secara terpisah.
Meskipun demikian, Suhardi menyatakan penelitan terhadap sastra lisan Besemah lain, terutama yang sudah jarang terdengar itu masih bisa dilakukan.
BACA JUGA:Miliki Potenisi, Menparekraf Kunjungi Destinasi Wisata Budaya di Singkawang
Menurut dia, penelitian terhadap sastra lisan seperti tadut, andai-andai Besemah perlu dilakukan.
“Untuk itu sudah mengarahkan para mahasiswa saya agar meneliti tradisi Besemah.
Kan banyak, bukan hanya sastra lisan guritan saja,” sambung Suhardi yang juga dosen Universitas Sriwijaya dan juga di Universitas PGRI Palembang ini.
Atas penelitian terhadap guritan itu, Suhardi berhasil menggondol gelar doktor dari Universitas Indonesia (UI).
BACA JUGA:Wujudkan Pagar Alam Sebagai Kota Wisata Berbasis Budaya dan Alam
Saat ditemui beberapa waktu lalu, anggota lembaga Adat Besemah, Satarudin Tjik Olah menyatakan guritan yang sebenarnya adalah berisikan tentang sejarah.
Karena itu di luar isi sejarah, bagi Satar guritan tersebut lebih layak dinamakan sebagai rimbai atau syair puisi.
Satar lantas mencontohkan beberapa guritan yang berisikan tentang sejarah. Dimulai dari guritan Raden Suane Tanjung Larang.
Disebutkan Satar, guritan ini menceritakan tentang sebuah negeri bernama Tanjung Larang dengan lengkap.
Dimulai dari perangkat, sistem, potensi sampai aktivitas negeri Tanjung Larang. Adapun lawangan dalam guritan ini adalah Raden Suane. “Lawangan di sini artinya tokoh sentral atau pemeran utama,” jelas dia.
BACA JUGA:Budaya Sriwijaya Tarik Turis Eropa *Kagumi Situs Megalit Museum Negeri Sumsel