Invasi Irak 2003: Ketika Dunia Menyaksikan Runtuhnya Sebuah Rezim
Invasi Irak 2003: Ketika Dunia Menyaksikan Runtuhnya Sebuah Rezim-Foto: net -
Amerika Serikat, meskipun sukses dalam menggulingkan kekuasaan, ternyata tak siap membangun ulang sebuah negara.
Ketika tentara Saddam dibubarkan dan Partai Ba'ath dilarang berperan dalam pemerintahan baru, kekosongan kekuasaan pun tak terhindarkan.
Ketidakteraturan tersebut memicu lahirnya kelompok-kelompok bersenjata. Konflik sektarian antara Sunni dan Syiah memuncak.
Terorisme mulai mengakar. Al-Qaeda masuk, dan bertahun-tahun kemudian, ISIS lahir dari reruntuhan itu.
AS berharap benih demokrasi akan tumbuh di Irak. Namun, tanah itu belum siap. Demokrasi justru dianggap sebagai bentuk kolonialisme baru.
Meski pemilu digelar, stabilitas tetap menjadi barang langka.
BACA JUGA:Sejarah Gunung Malabar: Warisan Kolonial, Teknologi Radio, dan Kearifan Lokal di Selatan Bandung!
BACA JUGA:Sejarah Suku Bajo: Jejak Peradaban Maritim di Nusantara yang Tak Tergerus Zaman!
Pemerintah yang terbentuk lebih sibuk berebut kekuasaan daripada melayani rakyat. Warga kehilangan rasa aman, sekaligus harapan.
Rumah sakit hancur, sekolah tutup, listrik mati. Sementara itu, perusahaan asing mulai mengeksploitasi kekayaan minyak Irak. Ada yang mengatakan: minyak lebih terlindungi daripada rakyatnya sendiri.
Kini, lebih dari 20 tahun telah berlalu sejak invasi dimulai. Saddam memang telah tiada. Namun, banyak warga Irak merasa bahwa meski mereka tak merindukan kediktatoran, mereka merindukan ketertiban.
Perang itu bukan sekadar menjatuhkan rezim, melainkan membuka kotak konflik yang hingga kini masih menyisakan luka. Irak belum pulih.
Dunia mungkin telah berpaling, tetapi warga Irak masih berjuang menulis kisah mereka—dengan darah, air mata, dan harapan yang belum padam.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
