Kartini: Menyoroti Lebih dari Sekadar Perempuan, Termasuk Pejabat Pribumi yang 'Gemar Menerima Hadiah'
Kartini membahas berbagai isu yang melibatkan lebih dari sekadar hak perempuan dan pendidikan-net-
Salah satu surat yang menunjukkan hal ini ditulis Kartini kepada Stella, seorang teman penanya di Belanda, pada tanggal 12 Januari 1900.
Ia menceritakan bagaimana insinyur dari perairan mengonfirmasi bahwa banjir tersebut disebabkan oleh kesalahan mereka dalam pengelolaan aliran air.
Kartini mencatat bahwa rakyat secara resmi tidak lagi dieksploitasi oleh pemimpin mereka. Apabila kejadian itu terulang, pelakunya akan dipecat atau diturunkan pangkatnya.
Ia tidak ingin hanya mengkritik tanpa memahami alasan di balik perilaku tersebut. Kartini menjelaskan bahwa masyarakat pribumi memandang pemberian hadiah kepada atasan sebagai ungkapan rasa hormat.
Ketika jurutulis ini ditawarkan seikat pisang oleh seseorang di desa, ia akan menolak pada percobaan pertama. Namun, seiring dengan tawaran yang datang berulang kali, ditolaknya bisa mulai ragu-ragu hingga pada akhirnya, ia menerima pemberian tersebut, berpikir bahwa tidak ada salahnya menerima sesuatu yang bisa bermanfaat.
Memberi hadiah bagi mereka bukan hanya untuk menunjukkan rasa hormat, tetapi juga sebagai langkah untuk mencegah kesulitan di masa mendatang. Jika suatu saat pemberi hadiah menghadapi masalah dengan atasan, mereka masih bisa mengandalkan dukungan dari jurutulis.
Gaji pegawai negeri memang rendah. Seorang asisten wedono kelas II hanya memperoleh gaji f 85, yang harus diatur untuk membayar jurutulis, angkutan, dan memenuhi berbagai biaya rumah tangga, termasuk menjamu kontrolir dan bupati ketika mereka melakukan perjalanan dinas.
Kau tentu bisa memahami bahwa ia tidak akan menyajikan hidangan biasa bagi para tamu agungnya. Ia akan membawa barang-barang dari kota. Namun, untungnya, ayah selalu membawa makanan sendiri ketika sedang bertugas dan menginap.
Jika ada kejahatan terjadi di wilayahnya, kepala daerah harus berusaha menyelesaikannya. Itu adalah kewajibannya. Untuk menemukan pelakunya, sering kali ia harus merogoh kocek dalam-dalam.
Namun, hal itu tidak sepenuhnya benar. Ada pangrehpraja yang bangkrut akibat situasi tersebut. Lalu, apa yang harus dilakukan pegawai negeri yang penghasilannya tidak mencukupi dan tidak punya keluarga atau orangtua yang bisa membantunya?
Stella, saya mengenal seorang residen yang berbicara dalam bahasa Melayu dengan seorang bupati, walaupun ia tahu bupati itu can berbahasa Belanda. Faktanya, setiap orang berbicara dalam bahasa Belanda dengan pemimpin pribumi itu, kecuali asisten residen.
Saudara-saudara saya yang laki-laki menggunakan bahasa Jawa yang halus ketika berbicara dengan atasan mereka, sedangkan atasan menjawab dengan bahasa Belanda atau Melayu. Hanya mereka yang sudah akrab dengan kami yang meminta kakak-kakak saya untuk berbicara dalam bahasa Belanda.
Saya tidak peduli jika mereka memperolok-olok kami. Saya justru merasa geli melihat bagaimana mereka berusaha menjaga gengsi di hadapan kami, orang Jawa. Dengan beberapa pegawai negeri BB yang bersahabat dengan saya, saya sering membicarakan hal ini.
Sekarang saya memahami mengapa dalam situasi seperti itu, saya tidak bisa menahan senyum. Lucu melihat bagaimana tuan-tuan besar itu menunjukkan kekuasaan mereka kepada kami.
Oh, Tuhan, andai kau tahu bagaimana orang-orang di sekitar yang menyingkir dari payung berkilau itu tertawa di belakang punggungmu, pikir saya. Apa pendapatmu soal banyaknya pegawai negeri yang membiarkan lutut dan kaki mereka dicium oleh pemimpin-pemimpin pribumi?
Memang, wajar jika residen dan asisten residen meminta untuk dipanggil "kanjeng", tetapi ketika mandor kebun, pegawai jembatan timbangan, dan mungkin besok kepala stasiun juga menginginkan panggilan yang sama, hal tersebut menjadi sangat lucu. Apakah mereka benar-benar memahami arti dari kanjeng.
Tentu saja, Kartini juga membahas latar belakangnya sebagai keturunan ningrat Jawa. Dalam suratnya kepada Stella yang tertanggal 18 Agustus 1899, ia menyatakan:
"Apakah kau tidak akan kecewa setelah mengenal saya lebih jauh? Saya sudah katakan, saya tidak tahu apa-apa. Di sampingmu, saya tak berarti apa-apa. Kau jelas lebih memahami gelar-gelar Jawa. "
Sejak sebelum kau menulis, saya tidak pernah memikirkan hal itu. Kau mengatakan saya berasal dari 'keturunan tinggi'. Apakah saya seorang 'putri'? Sama sekali tidak.
"Namun, saya sama sekali tidak peduli tentang hal ini. Bagi saya, hanya ada dua jenis aristokrat: mereka yang memiliki jiwa mulia dan yang berwatak mulia. Menurut saya, tidak ada yang lebih konyol daripada orang yang membanggakan keturunannya yang tinggi. Apa arti menjadi baron atau graaf bagi saya yang berpikir sederhana ini? "
Agama seharusnya menjadi berkah bagi umat manusia, mengikat kita semua sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Kita semua adalah saudara, bukan hanya karena kita memiliki orang tua yang sama, tetapi karena kita semua adalah anak dari satu Bapa yang berada di Surga.
Sering kali saya berpikir, alangkah baiknya jika agama tidak pernah ada. Justru hal inilah yang seharusnya menyatukan manusia sepanjang masa, tetapi malah menjadi sumber konflik, perbedaan, dan pembunuhan yang paling mengerikan.
Saya sering mempertanyakan, apakah agama benar-benar merupakan kurnia bagi umat manusia. Seharusnya agama melindungi kita dari dosa, tetapi betapa banyak dosa yang dilakukan atas nama-Nya.
Sekilas tentang Kartini: ia dipingit sejak usia 12 tahun dan gagal melanjutkan sekolah ke Belanda, hingga akhirnya ia menjadi istri keempat Bupati Rembang.
Meski dipingit sejak kecil, hal itu tidak menyurutkan semangat Kartini. Sebaliknya, justru saat-saat tersebut, kecerdasannya semakin bersinar.
Kartini lahir di Jepara pada 21 April 1879. Ayahnya menjabat sebagai Bupati Rembang, yang memungkinkannya bersekolah di tempat bergengsi seperti Europese Lagere School (ELS).
Ia lulus pada tahun 1892, tetapi setelah itu, Kartini harus menjalani masa pingitan ketika berusia 12 tahun, terpaksa mengasingkan diri di dalam rumah dan dilarang keluar dari lingkungan rumah megahnya.
Alih-alih keluar rumah, Kartini bahkan jarang sekali melangkah ke serambi. Selama empat tahun masa pingitan, ia hanya keluar dari lingkungan Kabupaten Jepara sebanyak lima kali.
Saat kakaknya, RA Soelastri, menikah dengan Raden Ngabehi Tjokroadisosro dan berpindah ke Kendal, Kartini menjadi putri tertua di kabupaten tersebut dan diberi kewenangan untuk mengatur segala urusan adik-adiknya.
Kartini mulai menempati kamar kakaknya Soelastri yang jauh lebih luas dibandingkan dengan kamar yang sebelumnya ia tempati. Dalam momen ini, ia mengajak dua adiknya, Roekmini dan Kardinah, untuk berbagi kamar.
Bersama-sama, ketiga saudara ini mengeksplorasi berbagai minat, mulai dari melukis, bermain piano, hingga berbagai ketrampilan tangan. Kartini juga menularkan kebiasaan gemar membaca kepada adik-adiknya.
Mereka sering membaca surat kabar De Locomatief, yang memberi mereka pemahaman tentang perkembangan yang terjadi di Hindia Belanda maupun Eropa. Pada tahun 1896, ayahnya mengajak Kartini dan adik-adiknya untuk melakukan perjalanan dinas ke Kedungpenjalin, di mana mereka menghadiri penahbisan pendata.
Dalam suratnya kepada Stella, Kartini berbagi pengalaman tersebut, menulis, “Alhamdulillah! Alhamdulillah! Saya akhirnya boleh meninggalkan penjara saya sebagai orang bebas. ”
Dengan sedikit pelonggaran dalam aturan pingitan, Kartini dan kedua adiknya diperbolehkan untuk mengunjungi rumah Nyonya Ovink Sore secara teratur.
Akhirnya, pada 2 Mei 1898, ketiga saudara tersebut tidak lagi terikat oleh pingitan. Kebebasan mereka ditandai dengan partisipasi dalam kunjungan Bupati Sosroningrat ke Semarang untuk merayakan penobatan Ratu Wilhelmina.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
