Pemkot PGA

Kartini: Menyoroti Lebih dari Sekadar Perempuan, Termasuk Pejabat Pribumi yang 'Gemar Menerima Hadiah'

Kartini: Menyoroti Lebih dari Sekadar Perempuan, Termasuk Pejabat Pribumi yang 'Gemar Menerima Hadiah'

Kartini membahas berbagai isu yang melibatkan lebih dari sekadar hak perempuan dan pendidikan-net-

PAGARALAMPOS.COM - Dalam surat-suratnya kepada sahabat-sahabatnya di Belanda, Kartini membahas berbagai isu yang melibatkan lebih dari sekadar hak perempuan dan pendidikan. 
 
Ia juga menyentuh tema-tema seperti fotografi, masyarakat pesisir, dan perilaku pejabat pribumi yang 'gemar menerima hadiah'.

Salah satu surat yang menunjukkan hal ini ditulis Kartini kepada Stella, seorang teman penanya di Belanda, pada tanggal 12 Januari 1900.
 
Dalam surat tersebut, Kartini menyampaikan peristiwa kebanjiran yang melanda sebuah desa nelayan di mana ayahnya, dengan dedikasi tinggi, menghabiskan waktu siang dan malam untuk membantu korban bencana.
 
 
Dengan menggunakan dana swasta yang kemudian dilunasi oleh pemerintah, ayahnya turut serta membangun kembali bendungan yang hancur.
 
Namun, Kartini mempertanyakan, "Siapa yang akan mengganti kerugian rakyat akibat kerusakan tersebut? " Dari 100. 000 tambak, hanya tersisa 15 setelah bencana itu.

Ia menceritakan bagaimana insinyur dari perairan mengonfirmasi bahwa banjir tersebut disebabkan oleh kesalahan mereka dalam pengelolaan aliran air.
 
Meskipun pemerintah berusaha menjaga kesejahteraan rakyat Jawa, mereka masih harus menghadapi beban pajak yang tinggi.

Kartini mencatat bahwa rakyat secara resmi tidak lagi dieksploitasi oleh pemimpin mereka. Apabila kejadian itu terulang, pelakunya akan dipecat atau diturunkan pangkatnya.
 
Namun, satu masalah yang terus berlangsung adalah budaya menerima hadiah, yang menurut pandangannya setara buruknya dengan memaksa rakyat kecil memberikan barang dalam konteks Max Havelaar.
 

Ia tidak ingin hanya mengkritik tanpa memahami alasan di balik perilaku tersebut. Kartini menjelaskan bahwa masyarakat pribumi memandang pemberian hadiah kepada atasan sebagai ungkapan rasa hormat.
 
Pegawai negeri menerima hadiah, tetapi gaji pemimpin mereka yang sangat rendah membuat kehidupan mereka menjadi sulit. Sebagai contoh, seorang jurutulis kawedanan hanya memperoleh gaji sebesar 25, dari mana ia harus mencukupi kebutuhan keluarga, membayar sewa rumah, dan membeli pakaian yang pantas.

Ketika jurutulis ini ditawarkan seikat pisang oleh seseorang di desa, ia akan menolak pada percobaan pertama. Namun, seiring dengan tawaran yang datang berulang kali, ditolaknya bisa mulai ragu-ragu hingga pada akhirnya, ia menerima pemberian tersebut, berpikir bahwa tidak ada salahnya menerima sesuatu yang bisa bermanfaat.

Memberi hadiah bagi mereka bukan hanya untuk menunjukkan rasa hormat, tetapi juga sebagai langkah untuk mencegah kesulitan di masa mendatang. Jika suatu saat pemberi hadiah menghadapi masalah dengan atasan, mereka masih bisa mengandalkan dukungan dari jurutulis.

Gaji pegawai negeri memang rendah. Seorang asisten wedono kelas II hanya memperoleh gaji f 85, yang harus diatur untuk membayar jurutulis, angkutan, dan memenuhi berbagai biaya rumah tangga, termasuk menjamu kontrolir dan bupati ketika mereka melakukan perjalanan dinas.
 
Jika asisten wedono tinggal jauh dari kota, mereka bahkan harus menyediakan tempat tinggal dan makanan bagi tamu-tamu penting ini. Semua ini jelas menjadi beban yang berat bagi seorang kepala asistenan.
 

Kau tentu bisa memahami bahwa ia tidak akan menyajikan hidangan biasa bagi para tamu agungnya. Ia akan membawa barang-barang dari kota. Namun, untungnya, ayah selalu membawa makanan sendiri ketika sedang bertugas dan menginap.
 
Begitu juga dengan kontrolir dan asisten residen. Secangkir teh yang disuguhkan oleh kepala daerah saat perjalanan tidak akan menguras kantong mereka.

Jika ada kejahatan terjadi di wilayahnya, kepala daerah harus berusaha menyelesaikannya. Itu adalah kewajibannya. Untuk menemukan pelakunya, sering kali ia harus merogoh kocek dalam-dalam.
 
Banyak pemimpin pribumi yang terpaksa menggadaikan perhiasan anak dan istri demi mendapatkan uang untuk penyidikan. Namun, uang tersebut biasanya akan dikembalikan oleh pemerintah, begitulah yang mungkin kau katakan.

Namun, hal itu tidak sepenuhnya benar. Ada pangrehpraja yang bangkrut akibat situasi tersebut. Lalu, apa yang harus dilakukan pegawai negeri yang penghasilannya tidak mencukupi dan tidak punya keluarga atau orangtua yang bisa membantunya?
 
Ia melihat anak dan istrinya mengenakan pakaian compang-camping sementara rakyat lainnya membawa hadiah-hadiah. Jangan terlalu keras menilai, Stella.

Stella, saya mengenal seorang residen yang berbicara dalam bahasa Melayu dengan seorang bupati, walaupun ia tahu bupati itu can berbahasa Belanda. Faktanya, setiap orang berbicara dalam bahasa Belanda dengan pemimpin pribumi itu, kecuali asisten residen.

Saudara-saudara saya yang laki-laki menggunakan bahasa Jawa yang halus ketika berbicara dengan atasan mereka, sedangkan atasan menjawab dengan bahasa Belanda atau Melayu. Hanya mereka yang sudah akrab dengan kami yang meminta kakak-kakak saya untuk berbicara dalam bahasa Belanda.
 
Namun, kakak-kakak saya menolak, dan ayah juga melarangnya. Mereka semua tahu apa yang seharusnya dilakukan. Terlalu banyak orang yang mengedepankan kata gengsi. Kata itu sering dipakai oleh para pegawai negeri yang merasa diri mereka serba tahu.
 

Saya tidak peduli jika mereka memperolok-olok kami. Saya justru merasa geli melihat bagaimana mereka berusaha menjaga gengsi di hadapan kami, orang Jawa. Dengan beberapa pegawai negeri BB yang bersahabat dengan saya, saya sering membicarakan hal ini.
 
Saya tidak pernah dibantah atau disetujui, meskipun saya yakin dalam hati mereka sepakat dengan saya. Ini semua demi gengsi.

Sekarang saya memahami mengapa dalam situasi seperti itu, saya tidak bisa menahan senyum. Lucu melihat bagaimana tuan-tuan besar itu menunjukkan kekuasaan mereka kepada kami.
 
Saya hampir tertawa terbahak-bahak ketika baru-baru ini saya melihat seorang residen berjalan di bawah payung berkilau yang dipegang seorang opas di atas kepalanya. Saat itu, saya sedang dalam perjalanan. Pemandangan yang menggelikan.

Oh, Tuhan, andai kau tahu bagaimana orang-orang di sekitar yang menyingkir dari payung berkilau itu tertawa di belakang punggungmu, pikir saya. Apa pendapatmu soal banyaknya pegawai negeri yang membiarkan lutut dan kaki mereka dicium oleh pemimpin-pemimpin pribumi?
 
Cium kaki adalah tanda penghormatan tertinggi yang diberikan orang Jawa kepada orang tua, kerabat yang lebih tua, dan pemimpin. Kami tidak suka melakukannya terhadap orang asing, dan jika terpaksa, itu pun dilakukan dengan enggan.
 
Orang Eropa sering kali menjadikan diri mereka bahan tertawaan di mata kami ketika mereka meminta penghormatan yang seharusnya hanya diberikan kepada pemimpin kami sendiri.

Memang, wajar jika residen dan asisten residen meminta untuk dipanggil "kanjeng", tetapi ketika mandor kebun, pegawai jembatan timbangan, dan mungkin besok kepala stasiun juga menginginkan panggilan yang sama, hal tersebut menjadi sangat lucu. Apakah mereka benar-benar memahami arti dari kanjeng.
 
Saya percaya bahwa hanya orang Jawa yang naif yang terbujuk rayuan semacam itu, namun saya mendapati bahwa orang Barat yang terpelajar pun ternyata tidak enggan, bahkan menyukainya.
 
BACA JUGA:Saat Korea Jadi Kekuatan Budaya Asia Kejayaan Joseon yang Jarang Diungkap

Tentu saja, Kartini juga membahas latar belakangnya sebagai keturunan ningrat Jawa. Dalam suratnya kepada Stella yang tertanggal 18 Agustus 1899, ia menyatakan:

"Apakah kau tidak akan kecewa setelah mengenal saya lebih jauh? Saya sudah katakan, saya tidak tahu apa-apa. Di sampingmu, saya tak berarti apa-apa. Kau jelas lebih memahami gelar-gelar Jawa. "

Sejak sebelum kau menulis, saya tidak pernah memikirkan hal itu. Kau mengatakan saya berasal dari 'keturunan tinggi'. Apakah saya seorang 'putri'? Sama sekali tidak.
 
Raja terakhir dari garis nenek moyang saya, di pihak ayah, mungkin sudah ada lebih dari 25 generasi. Meskipun ibuku masih memiliki hubungan dekat dengan keluarga kerajaan Madura dan kakek buyutnya adalah seorang raja yang berkuasa, sedangkan neneknya adalah seorang 'putri mahkota'.

"Namun, saya sama sekali tidak peduli tentang hal ini. Bagi saya, hanya ada dua jenis aristokrat: mereka yang memiliki jiwa mulia dan yang berwatak mulia. Menurut saya, tidak ada yang lebih konyol daripada orang yang membanggakan keturunannya yang tinggi. Apa arti menjadi baron atau graaf bagi saya yang berpikir sederhana ini? "

Agama seharusnya menjadi berkah bagi umat manusia, mengikat kita semua sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Kita semua adalah saudara, bukan hanya karena kita memiliki orang tua yang sama, tetapi karena kita semua adalah anak dari satu Bapa yang berada di Surga.

Sering kali saya berpikir, alangkah baiknya jika agama tidak pernah ada. Justru hal inilah yang seharusnya menyatukan manusia sepanjang masa, tetapi malah menjadi sumber konflik, perbedaan, dan pembunuhan yang paling mengerikan.
 
Manusia, meskipun berasal dari orang tua yang sama, sering kali saling bermusuhan karena cara pandang mereka terhadap Tuhan yang sama. Ketika hati seharusnya terikat oleh cinta kasih, malah menjauh dengan rasa sakit.
 
Perbedaan dalam gereja, di mana kita semua beribadah kepada Tuhan yang sama, menjadi penghalang bagi mereka yang sebenarnya berbagi getaran hati.
 
BACA JUGA:Arkeolog Mencapai Keberhasilan dalam Menemukan Asal Usul Kekayaan Nabi Sulaiman di Israel

Saya sering mempertanyakan, apakah agama benar-benar merupakan kurnia bagi umat manusia. Seharusnya agama melindungi kita dari dosa, tetapi betapa banyak dosa yang dilakukan atas nama-Nya.

Sekilas tentang Kartini: ia dipingit sejak usia 12 tahun dan gagal melanjutkan sekolah ke Belanda, hingga akhirnya ia menjadi istri keempat Bupati Rembang.

Meski dipingit sejak kecil, hal itu tidak menyurutkan semangat Kartini. Sebaliknya, justru saat-saat tersebut, kecerdasannya semakin bersinar.

Kartini lahir di Jepara pada 21 April 1879. Ayahnya menjabat sebagai Bupati Rembang, yang memungkinkannya bersekolah di tempat bergengsi seperti Europese Lagere School (ELS).

Ia lulus pada tahun 1892, tetapi setelah itu, Kartini harus menjalani masa pingitan ketika berusia 12 tahun, terpaksa mengasingkan diri di dalam rumah dan dilarang keluar dari lingkungan rumah megahnya.

Alih-alih keluar rumah, Kartini bahkan jarang sekali melangkah ke serambi. Selama empat tahun masa pingitan, ia hanya keluar dari lingkungan Kabupaten Jepara sebanyak lima kali.

Saat kakaknya, RA Soelastri, menikah dengan Raden Ngabehi Tjokroadisosro dan berpindah ke Kendal, Kartini menjadi putri tertua di kabupaten tersebut dan diberi kewenangan untuk mengatur segala urusan adik-adiknya.

Kartini mulai menempati kamar kakaknya Soelastri yang jauh lebih luas dibandingkan dengan kamar yang sebelumnya ia tempati. Dalam momen ini, ia mengajak dua adiknya, Roekmini dan Kardinah, untuk berbagi kamar.

Bersama-sama, ketiga saudara ini mengeksplorasi berbagai minat, mulai dari melukis, bermain piano, hingga berbagai ketrampilan tangan. Kartini juga menularkan kebiasaan gemar membaca kepada adik-adiknya.

Mereka sering membaca surat kabar De Locomatief, yang memberi mereka pemahaman tentang perkembangan yang terjadi di Hindia Belanda maupun Eropa. Pada tahun 1896, ayahnya mengajak Kartini dan adik-adiknya untuk melakukan perjalanan dinas ke Kedungpenjalin, di mana mereka menghadiri penahbisan pendata.

Dalam suratnya kepada Stella, Kartini berbagi pengalaman tersebut, menulis, “Alhamdulillah! Alhamdulillah! Saya akhirnya boleh meninggalkan penjara saya sebagai orang bebas. ”

Dengan sedikit pelonggaran dalam aturan pingitan, Kartini dan kedua adiknya diperbolehkan untuk mengunjungi rumah Nyonya Ovink Sore secara teratur.
 
Nyonya Ovink pun sering mengajak mereka menghadiri pesta keluarga Belanda, yang membuat ayah mereka mengamati situasi ini dengan seksama.
 
BACA JUGA:Peringati Hari Kartini, TK Darul Hayah Gelar Lomba

Akhirnya, pada 2 Mei 1898, ketiga saudara tersebut tidak lagi terikat oleh pingitan. Kebebasan mereka ditandai dengan partisipasi dalam kunjungan Bupati Sosroningrat ke Semarang untuk merayakan penobatan Ratu Wilhelmina.

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait