Pemkot PGA

Sejarah Penggunaan Metode Hisab dalam Menentukan Idulfitri

Sejarah Penggunaan Metode Hisab dalam Menentukan Idulfitri

Sejarah Metode Hisab Muhammadiyah-net-

PAGARALAMPOS.COM - Dalam menentukan hari-hari besar umat Islam seperti Ramadan, Idulfitri, dan Iduladha, Muhammadiyah selalu menggunakan metode hisab, yang berbeda dengan Nahdlatul Ulama (NU) yang mengandalkan metode rukyatul hilal.

Lantas, bagaimana sejarah Muhammadiyah dalam menerapkan metode hisab untuk menentukan Ramadan dan Idulfitri? Penggunaan metode hisab oleh Muhammadiyah tidak lepas dari peran pendirinya, Kiai Ahmad Dahlan. Sebenarnya, Ahmad Dahlan telah mengadopsi metode ini jauh sebelum organisasi Muhammadiyah didirikan.

Metode hisab yang diperkenalkan oleh Ahmad Dahlan ia pelajari saat menuntut ilmu di Mekkah, di mana ia terpapar pada ide-ide Islam modernis, termasuk dalam pemakaian kalender. Salah satu langkah pertamanya setelah kembali dari Mekkah adalah memperbaiki arah kiblat pada akhir abad ke-19, yang menjadi perdebatan di kalangan umat Islam saat itu.

BACA JUGA:Menggali Kembali Sejarah Kebaya Kartini: Simbol Emansipasi dan Identitas Perempuan Indonesia!

Sultan Hamengkubuwono VII menyadari potensi besar yang dimiliki Ahmad Dahlan. Pada awal abad ke-20, tepatnya tahun 1903, Sultan mengutus Ahmad Dahlan untuk melaksanakan ibadah haji kedua dengan biaya dari Kesultanan. Selain beribadah, Sultan berharap Ahmad Dahlan bisa bertemu dengan ilmuwan Muslim dari berbagai belahan dunia untuk memperluas pengetahuannya. Dalam perjalanan itu, Ahmad Dahlan bertemu dengan Rasyid Ridha, seorang reformis Islam dan murid Jamaluddin Al-Afghani, serta Syaikh Ahmad Khatib al-Minangkabawy, yang menjadi salah satu gurunya.

Melalui pertemuan dengan tokoh-tokoh seperti Raden Haji Dahlan Semarang, Syekh Jami Jambek Bukittinggi, dan Sayid Usman Al-Habsyi Jakarta, Ahmad Dahlan semakin mendalami serta menyempurnakan pengetahuan mengenai ilmu falak, geografi, dan astronomi.

Pada 18 November 1912, Muhammadiyah resmi didirikan. Pada saat itu, umat Islam di Yogyakarta, termasuk Keraton, masih menggunakan kalender Jawa Aboge (Alif, Rebo, Wage), sebuah sistem penanggalan yang telah ada sejak zaman Wali Songo. Menurut informasi dari Muhammadiyah. or. id, Kiai Ahmad Dahlan menemukan bahwa tanggal Hijriyah dalam perayaan hari-hari besar yang biasa dirayakan oleh Keraton ternyata berbeda dengan penanggalan Aboge.

BACA JUGA:Sejarah Hari Kartini: Mengenang Perjuangan Sang Pelopor Emansipasi Wanita Indonesia!

Atas dasar tersebut, Ahmad Dahlan menghadap Sultan untuk menjelaskan temuannya dan meminta izin agar Muhammadiyah dapat menggunakan penentuan tanggalnya sendiri. Permohonan ini disetujui oleh Sultan HB VII, sebagaimana tercatat dalam buku "Pemikiran dan Perilaku Politik Kiai Haji Ahmad Dahlan" oleh Ahmad Faizin Karim.

"Berlebaranlah kamu menurut hisab atau rukyat, tetapi Grebeg tetap menurut perhitungan Aboge," demikian jawaban Sultan kepada Ahmad Dahlan, seperti yang dikutip dari Muhammadiyah. or. id.

Perbedaan Metode Hisab dan Rukyatul Hilal

Di Indonesia, terdapat dua metode dalam menentukan awal bulan pada kalender Hijriyah, yaitu rukyat dan hisab. Metode ini digunakan oleh ormas Islam terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. NU mengandalkan metode rukyat, yang didasarkan pada pemantauan kemunculan hilal baik dengan mata telanjang maupun menggunakan teleskop. Di sisi lain, Muhammadiyah menggunakan metode hisab, yaitu perhitungan matematis untuk menentukan awal bulan.

Perbedaan dalam penentuan awal puasa Ramadan sering terjadi ketika hasil hisab tidak sama dengan hasil rukyatul hilal. Metode hisab menentukan waktu munculnya hilal berdasarkan perhitungan dengan acuan ijtimak atau konjungsi sebagai batas waktu awal dan akhir bulan, sedangkan rukyatul hilal yang berbasis pengamatan langsung bisa menghasilkan temuan yang berbeda.

Penyebab hilal tidak teramati pada waktu yang ditentukan adalah karena posisi hilal yang terlalu rendah, yaitu kurang dari 2 derajat. Sejak awal tahun 2022, Kementerian Agama telah menerapkan kriteria baru yang berdasarkan kesepakatan menteri agama dari Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS).

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber:

Berita Terkait