Sejak Zaman Kerjaan Tarumanegara, Isu Jakarta Banjir sudah Menjadi Perhatian

Sejak Zaman Kerjaan Tarumanegara, Isu Jakarta Banjir sudah Menjadi Perhatian

Jakarta tahun 1970an-net-

PAGARALAMPOS.COM - Simak petikan kabar di awal tahun 1918, ketika hujan turun terus-menerus sejak Januari-Februari, membuat Batavia terendam banjir. Awal Februari, kampung di Weltevreden terendam selama beberapa hari, sampai-sampai penduduknya mengungsi.

Rumah-rumah di Kampung Tanah Tinggi, Kampung Lima, dan Kemayoran Belakang ikut terendam. Konon penyebabnya selokan yang terlalu kecil, sehingga air tak bisa mengalir.

BACA JUGA: Jejak Sejarah Senjata Rencong: Warisan Budaya Aceh Senjata Tradisional dan Keunikan!

Di sepanjang Jl. Molenvliet Barat dan Timur (kini Jl. Gajah Mada dan Jl. Hayam Wuruk) rumah-rumah dibuka untuk menampung pengungsi. Gemeente (kotapraja) pun membuka tempat-tempat pengungsian untuk orang kampung.

Jumlah pengungsi mencapai ribuan orang. Mereka mendapat sumbangan dari Thaliafonds berupa uang f300, dari Tuan Tjie Eng Hok (beberapa puluh karung beras), serta tiga peti ikan asin dari Tuan Lauw Soen Bak (Sin Po, 20 Februari 1918).

BACA JUGA:Pelajari Sejarah Suku Minang, yang Sarat Tradisi dan Diwariskan Turun-temurun oleh Leluhur!

Banjir itu mendorong Gemeenteraad (kini DPRD, red) menggelar rapat pada 19 Februari 1918. Rapat yang dipimpin burgemeester (walikota) Bisschop itu dihadiri 11 lid (perwakilan) Eropa dan 3 lid Bumiputera.

Lid Tionghoa dan Arab absen. Dalam rapat itu walikota menyatakan telah menyediakan dana memadai untuk para korban banjir.

BACA JUGA:Keunikan dan Keindahan Rumah Adat Honai di Papua: Kisah Sejarah Dibalik Keunikan Rumah Honai!

Rapat juga memutuskan, pemerintah menyediakan tempat pengungsian di bangsal Royal Standard Biograph di Pasar Baru, gedung Sekolah Dokter Jawa di Salemba, dan los-los di kota ilir dan Tanah Abang.

Untuk menjaga segala kemungkinan, pemerintah meminta kampung-kampung dikosongkan, karena air masih mungkin meninggi, sehingga berbahaya bagi keselamatan dan kesehatan.

BACA JUGA:Redmi Note 14 Pro Plus 5G, HP China Rp 5 Jutaan dengan Kamera 200 MP yang Memukau

Sejak Tarumanegara

Berdasarkan temuan arkeologis, Banjir di Jakarta dapat ditelusuri lewat tulisan pada batu tulis Tugu yang ditemukan di dekat Tanjung Priok. Batu tulis itu memuat berita tentang penggalian sebuah kali yang permai dan berair jernih.

Penggalian itu diadakan dalam waktu 21 hari dan dilakukan oleh para brahmana, yang diberi hadiah 1.000 ekor sapi. Pekerjaan itu dilakukan pada tahun ke-22 Raja Purnawarman bertahta.

BACA JUGA:Anak Manipulatif: Lihat Seberapa Besar Kesalahan dalam Parenting yang Jadi Penyebabnya!

Tujuan penggalian disebutkan untuk mengairi sawah dan menahan banjir (Abdurrahman Surjomihardjo dalam Perkembangan Kota Jakarta, 1973). Jika mengacu angka tahun 1133 pada batu tulis Tugu, berarti masalah banjir sudah jadi perhatian sejak zaman Kerajaan Tarumanegara.

Sedangkan peta "Jayakarta" yang dikeluarkan Dr. JW Ijzerman (1917) menunjukkan upaya VOC mengurangi banjir dengan meluruskan Sungai Ciliwung. Selain untuk melancarkan transportasi, juga memperlancar aliran sungai ke Batavia.

BACA JUGA:Ragam Keunikan Rumah Adat Bugis: Keindahan Arsitektur dan Fakta Dibalik Sejarah Filosofi!

Setelah kemenangan Jan Pieterszoon Coen atas Jayakarta, dan mengubah namanya jadi Batavia, kedudukan VOC semakin mantap. Untuk memperlancar transportasi dari dan ke Batavia dibangunlah kanal-kanal.

Setiap pembangunan kanal selalu dibarengi dengan pembangunan pintu air. Dengan pintu-pintu air itu, debit air sungai yang melewati kota dapat diatur.

BACA JUGA:Suku Dayak Berasal dari Mana? Ini Asal usulnya, Serta Fakta Dibalik Tradisi Suku Dayak!

Kanal Molenvliet (1648) misalnya, yang menghubungkan kota dengan kawasan selatan, dibangun atas permintaan Poa Bingam. Saluran ini diperuntukkan bagi pengangkutan hasil hutan di bagian selatan.

Kanal yang semula bernama Bingamsgracht itu diubah menjadi Molenvliet pada 1661. Molenvliet dimulai dari daerah Glodok terus ke selatan, diapit oleh Jl. Gajah Mada dan Jl. Hayam Wuruk.

BACA JUGA:Redmi Note 14 Pro Plus 5G, HP China Rp 5 Jutaan dengan Kamera 200 MP yang Memukau

Tepat di tenggara Benteng Rijswijk (Harmoni) saluran berbelok ke timur, diapit Jl. Ir. Juanda dan Jl. Veteran, dan membelok ke selatan memasuki kompleks Masjid Istiqlal. Di kompleks masjid, terdapat jalur Sungai Ciliwung yang berbelok ke timur. Sedangkan tepat di sebelah timur terdapat pintu air Willemsluis.

Pintu ini untuk mengatur debit air yang akan dialirkan ke Molenvliet. Aliran Ciliwung berbelok ke timur ke arah Pasar Baru, sejajar dengan Jl. Pos dan Jl. Dr. Sutomo, lalu berbelok ke utara sejajar dengan Jl. Gunung Sahari yang merupakan saluran pengalihan ke arah timur pada 1699, kemudian bertemu dengan Ciliwung melalui Jembatan Merah ke arah barat pada Jin. Raya Mangga Besar.

BACA JUGA:Ingin HP Murah dan Memori Besar? Ini Rekomendasi Terbaik Rp 1 Jutaan Februari 2025

Namun pengendapan lumpur di kanal-kanal semakin cepat sejak meletusnya Gunung Salak (1699), sehingga debit air Ciliwung yang masuk ke kota semakin kecil. Pada 1732 Gubernur Diederik Durven memerintahkah pembuatan saluran baru Mookervart untuk menambah debit air ke kota.

Penggalian ini mengakibatkan timbulnya wabah penyakit, tewasnya para kuli, dan bencana banjir bagi Batavia. Akibat erosi, terjadilah endapan di muara-muara dan paya-paya jadi penuh air sehingga menjadi sarang nyamuk.

BACA JUGA:Menteri Nusron: Sertifikat Tanah untuk Kampung Nelayan Muara Angke Memiliki Kekuatan Hukum yang Kuat

Melihat kondisi yang tidak sehat, kota pun dipindahkan ke selatan, yaitu ke Weltevreden (kawasan Monas sekarang) pada 1830-an. Dari sinilah kota mengalami perkembangan.

Kota sudah pindah ke Monas, tapi banjir terus mengikuti. Pada awal 1893, kawasan Kampung Kepu, Bendungan, Nyonya Wetan, dan Kemayoran tergenang air.

BACA JUGA:Bukti Baru Mengungkapkan Kejutan di Bukit Situs Padang! Apakah Ini Candi Raksasa yang Hilang?

Banjir juga mengakibatkan Kampung Pluit Belakang, Sawah Besar, Kandang Sapi, Pesayuran, Kebon Jeruk, Tangki Belakang, Tanah Sereal, Tanah Nyonya, Kampung Kepal, Tanah Tinggi, Kemayoran Sawah, Kemayoran Wetan, dan Sumur Batu terendam 1 meter. (Fitri R. Ghozally [peny]: Dari Batavia Menuju Jakarta, 2004).

Setelah itu, Batavia secara berturut-turut dilanda banjir. Pada 19 Februari 1909, menurut koresponden De Locomotief, hujan sangat deras sehingga kanal-kanal tidak mampu menampung air.

BACA JUGA:5 Makanan Khas Karawang yang Akan Membuat Lidah Anda Bergoyang!

Sebagai kritik terhadap ketidakmampuan pemerintah dalam menangani banjir, De Locomotief menurunkan berita "Batavia Onder Water", disingkat menjadi BOW (Burgerlijke Openbare Werken), sebuah kantor yang menangani sarana dan prasarana pemerintah, termasuk di dalamnya menangani banjir.

BACA JUGA:Jangan Sampai Ketinggalan! Ini Dia Kuliner Paling Enak dan Terkenal di Bungo!

Setelah banjir, kampung-kampung bumiputera dalam waktu singkat akan kosong. Itu bisa berlangsung berhari-hari.

Tapi di perkampungan warga Eropa sebaliknya. Mereka masih bisa menikmati pesta kecil. Dari atas trem listrik yang melewati pemukiman, mereka bisa melihat rumah-rumah yang hanyut dan orang-orang berlarian menyelamatkan diri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: