Perkembangan Teknologi Pembuatan Jamu di Majapahit: Evolusi dan Warisan Kesehatan Nusantara

Perkembangan Teknologi Pembuatan Jamu di Majapahit: Evolusi dan Warisan Kesehatan Nusantara

Perkembangan Teknologi Pembuatan Jamu di Majapahit-Kolase by Pagaralampos.com-net

Berdasarkan jurnal Universitas Negeri Surabaya berjudul “Minuman Jamu Tradisional Sebagai Kearifan Lokal Masyarakat di Kerajaan Majapahit pada Abad ke-14 Masehi”, terdapat bukti yang menunjukkan bahwa jamu telah dikonsumsi oleh masyarakat Hindu-Buddha di Nusantara pada masa itu. 

BACA JUGA:Menjelajahi Sejarah Kerajaan Sriwijaya dan Mengenal 10 Peninggalannya

Benda-benda arkeologi, prasasti, daun lontar, dan relief candi memberikan informasi mengenai penggunaan jamu sebagai obat tradisional.

Pada masa Hindu-Buddha, khususnya di Kerajaan Majapahit, budaya minum jamu diwariskan melalui tradisi lisan. 

Hal ini menyebabkan banyak naskah dan lontar yang membahas tentang jamu mengalami kerusakan akibat bencana alam, peperangan, atau kurangnya perawatan. 

Salah satu naskah penting mengenai jamu adalah "Serat Centhini" yang ditulis oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom pada tahun 1742 tahun Jawa atau 1814 Masehi, serta "Serat Kaoro Bap Djampi-Djampi" yang ditulis pada tahun 1858 Masehi. 

BACA JUGA:Menyimpan Cerita Menarik! Inilah 4 Tempat Wisata Sejarah PALI yang Wajib Kamu Kunjungi

Kitab Usadha dari Bali juga merupakan referensi penting dalam mengidentifikasi tanaman yang digunakan dalam pembuatan jamu. 

Bali, sebagai wilayah yang ditaklukkan oleh Kerajaan Majapahit, menunjukkan adanya kesamaan budaya antara kedua daerah tersebut.

Profesi Acaraki dalam Pembuatan Jamu

Di masa Majapahit, terdapat pembagian profesi dalam bidang kesehatan, termasuk profesi "acaraki" atau pembuat jamu. 

BACA JUGA:Sebagian Wanita Sparta Punya Dua Suami, Mengupas Kisah Sejarah Yunani Kuno!

Prasasti Balawi (1035), Prasasti Sidoteka (1323), dan Prasasti Madhawapura menyebutkan berbagai profesi dalam bidang kesehatan, termasuk acaraki. 

Sebelum meracik jamu, seorang acaraki harus berdoa, bermeditasi, dan berpuasa untuk merasakan energi positif yang bermanfaat bagi kesehatan.

Tradisi ini mencerminkan keyakinan bahwa sang penyembuh adalah Tuhan yang memberikan kekuatan pada proses penyembuhan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: