Aneh Tapi Nyata! Benarkah 4 Budaya Di Indonesia Ini Dianggap Melanggar Hukum Yang Ada?

Aneh Tapi Nyata! Benarkah 4 Budaya Di Indonesia Ini Dianggap Melanggar Hukum Yang Ada?

Aneh Tapi Nyata! Benarkah 4 Budaya Di Indonesia Ini Dianggap Melanggar Hukum Yang Ada? -tangkapan layar-good news from indonesia

BACA JUGA:Hebat! Xiaomi Mendobrak Pasar Tablet di Indonesia dengan Produk Terbarunya, Cek Spesifikasi dan Harganya

Istilah merarik sendiri berasal dari kata dalam bahasa Sasak. Ada beberapa pendapat mengenai asal kata merarik, di antaranya; “berlari” yang berarti berlari. 

Pihak lelaki nantinya akan membawa lari seorang perempuan untuk dinikahi. 

Makna inilah yang kemudian berkembang menjadi istilah merarik yaitu sebuah tindakan yang dilakukan untuk membebaskan si gadis dari ikatan orang tua serta keluarganya.

Dalam pelaksanaan tradisi merarik, terdapat delapan tahap yang harus dilewati yaitu: 1) midang, merupakan proses kunjungan laki-laki ke rumah, 2) ”Merarik” (kawin lari), yaitu pelarian atau penculikan perempuan dari orang tuanya lalu disembunyikan oleh pelaku, 3) Selabar, yaitu pihak pria melaporkan kepada kepala dusun asal calon pengantin dan pemberitahuan kepada keluarga pihak perempuan bahwa pihak pria telah membawa lari anak mereka, 4) Mbait wali, yaitu menjemput wali untuk menikahkan si perempuan, 5) Akad nikah dengan cara Islam, 6) Mbait janji, yaitu perundingan untuk menentukan waktu pelaksanaan ajikrama atau sorong serah, yang merupakan puncak rangkaian upacara pernikahan, 7) Ajikrama merupakan prosesi simbolis untuk memberi dan menerima pengantin di dalam sebuah perkawinan. 

BACA JUGA:Tampil Trendi dan Kaki Terlindungi Maksimal, 5 Rekomendasi Sepatu Safety Pria Terbaik 2023

8) Terakhir nyongkolan, yaitu iring-iringan kedua mempelai pengantin yang datang ke tempat upacara sambil berjalan kaki dengan diiringi permainan musik tradisional khas Sasak, gendang beleq atau kecimol.

Di satu sisi, praktik Merarik dalam masyarakat NTB sudah dianggap sebagai adat istiadat. Selain itu, budaya merarik juga dilakukan sebagai pembuktian kelaki-lakian, keberanian, keseriusan, dan tanggung jawab seorang laki-laki pada calon istrinya. 

Tidak adanya kejelasan sanksi terhadap praktik perkawinan anak yang telah membudaya dalam masyarakat NTB mengakibatkan hukum pidana nasional sulit untuk mengatasi permasalahan ini. (*)

Artikel ini telah terbit di https://www.idntimes.com/science/discovery/amp/fzn-dwnda/5-budaya-indonesia-yang-ternyata-menyimpang-dari-hukum-c1c2?page=all#page-2

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: