Menjaga Hubungan Antara Manusia dengan Lingkungan Jangan Ngotori Ayek Ulu Tulung, Kele Kebendun!

 Menjaga Hubungan Antara Manusia dengan Lingkungan Jangan Ngotori Ayek Ulu Tulung, Kele Kebendun!

Adat Suku Besemah yang Masih Diterapkan Hingga Kini, Simak Penjelasan Para Pakar - Foto: dok/Pagaralampos.com/ilustrasi--istimewa

PAGAR ALAM, PAGARALAMPOS.COM - Adat istiadat di Besemah rupanya tidak hanya mengatur hubungan antar sesama manusia saja.

Adat istiadat Besemah juga mengatur hubungan antara manusia dengan lingkungan sekitarnya. Meskipun tak tertulis, sanksi bagi para pelanggar aturan ini sangatlah berat.

Anggota Lembaga Adat Besemah Satarudin Tjik Olah mengatakan, adat istiadat Besemah mengatur hubungan antara manusia dengan manusia sekaligus dengan lingkungannya.

Adat istiadat yang mengatur hubungan manusia dengan lingkungan ini, dicontohkan Satar, adanya larangan mengotori ayek ulu tulung (sumber mata air).

BACA JUGA:Perjalanan Sejarah dan Keunikan Suku Besemah: Budaya, Bahasa, dan Identitas yang Dilestarikan

“Mengeringkan ayek ulu tulung itu tidak boleh. Termasuk menebas pepohonan di sekitarnya,”ujar Satar, ketika ditemui Pagaralampos.com di kediamannya belum lama ini.

Dijelaskan Satar, larangan tersebut bertujuan untuk menjaga ketersediaan pasokan air bagi masyarakat banyak. Bila bagian hulu saja sudah rusak, maka  bagian hilir akan kena imbas seperti kekeringan.

Karena itulah, ekosistem di ayek ulu tulung, harus selalu dijaga, jangan sampai rusak. Selain berimbas dengan masyarakat banyak, orang yang melanggar adat ini kata Satar, biasanya akan langsung kena sanksi.

“Kebendun. Bentuknya seperti ditinggalkan oleh orang-orang yang disayangi, atau bahkan pacak gile,”ujar Satar mengenai sanksi bagi pelanggar adat istiadat.

 BACA JUGA: Budaya Rakyat Besemah Memandang Politik Uang 'Jangan nak Lemak Dek Bemule', Miliki Makna Mendalam

Sanksi lain yang mengancam pelanggar adat istiadat-termasuk merusak ayek ulu tulung- adalah tulahan atau penyakit ringan.

Kemudian pemali yang berbentuk hasil panen yang tidak bagus. Sanksi yang paling berat ujar Satar adalah mentarang ini merupakan sanksi  yang berbentuk hidup yang sangat susah.

Penerima sanksi ini biasanya jarang menerima kemudahan-kemudahan. “Ketika mati, dide diterime bumi. Di dalam kubur gerintak-gerintungan,”ucapnya. 

Memang, diakui Satar, adat dan sanksi ini tidak tertulis. Namun, kata dia, aturan dan sanksi ini sangat dipercaya masyarakat. Sebabnya, adat ini dipercaya sumbernya berasal dari Tuhan Yang Maha Kuasa yang dalam istilah Besemah disebut ugha kelam.

BACA JUGA: Budaya Rakyat Besemah Memandang Politik Uang 'Jangan nak Lemak Dek Bemule', Miliki Makna Mendalam

“Tapi ini (adat istiadat) bukan kepercayaan. Sekumpulan peraturan,”kata dia memberikan penjelasan.Sampai sekarang adat tersebut diyakini Satar, masih hidup dan berkembang di tengah masyarakat Besemah.

Ditambahkan Satar, adanya adat istiadat yang mengatur hubungan antara manusia dengan lingkungan tersebut, secara tidak langsung telah membantu upaya Pemerintah dalam menjaga kelestarian alam.

Dengan demikian, antara adat istiadat dan peraturan pemerintah dapat seiring berjalan sekaligus melengkapi.

 
Mengatur Hubungan Manusia dengan Manusia

Adapun adat istiadat Besemah yang mengatur hubungan manusia dengan manusia juga sangat banyak. Satar menyebutkan, menyantuni anak yatim piatu, menggotong-royongi gawehan kerbai jande, merupakan bentuk adat istiadat yang  mengatur hubungan manusia dengan manusia.  

BACA JUGA:Mengenal Festival Pelang Kenidai, Tradisi Asli Suku Besemah di Sumatera Selatan Yang Masih Eksis

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: