Penolakan ini bukan tanpa alasan. Mereka berpegang pada prinsip hidup sederhana atau kamase-masea, yang berarti tidak berlebihan dalam hal apa pun.
Mereka percaya bahwa manusia tidak boleh serakah dan harus hidup secukupnya agar alam tetap terjaga.
Karena itu, teknologi yang dianggap mempercepat, mempermudah, atau memberikan kenyamanan berlebih dipandang sebagai ancaman bagi kesederhanaan.
Bagi masyarakat Kajang Hitam, berjalan kaki adalah bentuk penghormatan terhadap bumi. Menggunakan lampu listrik dianggap sebagai bentuk “melawan alam” karena cahaya harus berasal dari sumber alami seperti api.
BACA JUGA:Mengenal Tari Hadrat: Seni Tradisional Bernuansa Islami yang Mengakar Sejak Masa Lampau
Sementara itu, alat elektronik dipandang sebagai benda yang dapat menimbulkan ketergantungan dan mengganggu kedamaian.
Ciri Khas dalam Kehidupan Sehari-hari
Selain menolak teknologi modern, Suku Kajang Hitam juga memiliki gaya hidup yang sangat khas. Warna hitam menjadi identitas utama mereka.
Pakaian berwarna hitam melambangkan kesederhanaan, kerendahan hati, dan kesamaan derajat antarwarga. Semua orang dianggap setara, tanpa perbedaan status sosial.
Rumah mereka disebut balla, dibangun dari kayu dengan atap rumbia tanpa paku dan tanpa sentuhan alat modern.
Jika terjadi kerusakan, rumah diperbaiki hanya dengan peralatan tradisional yang sudah digunakan sejak nenek moyang mereka.
Bahkan dalam aktivitas bertani, mereka tetap mengandalkan metode lama seperti mencangkul secara manual dan menanam berdasarkan tanda alam.
Masyarakat Kajang Hitam juga sangat menjaga hutan adat mereka. Kawasan hutan ini dianggap suci dan tidak boleh dirusak.
Hanya Ammatoa dan beberapa orang tertentu yang boleh memasuki area hutan terdalam. Bagi mereka, hutan merupakan sumber kehidupan yang harus dilestarikan, bukan dieksploitasi.
Hubungan dengan Dunia Luar