Bahasa Enggano menjadi ciri khas utama mereka. Bahasa ini tergolong langka dan memiliki struktur berbeda dari bahasa Melayu atau bahasa daerah lainnya di Sumatera.
Karena penuturnya semakin sedikit, bahasa Enggano kini dikategorikan sebagai bahasa yang terancam punah.
Dalam hal budaya, suku ini memiliki tradisi yang kaya, mulai dari tarian, upacara adat, hingga sistem kepercayaan yang sangat menghormati alam.
Mereka percaya bahwa setiap unsur alam, seperti pohon, laut, dan gunung, memiliki roh yang harus dihormati.
BACA JUGA:Asal Usul dan Kehidupan Suku Dawan: Tradisi serta Identitas Budaya di Timor
Oleh karena itu, mereka selalu menjalankan ritual sebelum menebang pohon atau melaut, sebagai bentuk permohonan izin kepada roh penjaga alam.
Sistem Kepercayaan dan Adat Istiadat
Sebelum masuknya pengaruh agama luar, Suku Enggano menganut kepercayaan animisme. Mereka mempercayai keberadaan roh leluhur yang menjaga kehidupan manusia dan lingkungan.
Seiring waktu, pengaruh agama Islam dan Kristen mulai masuk ke Pulau Enggano, terutama melalui interaksi dengan masyarakat pesisir Bengkulu.
BACA JUGA:Patung Lembuswana: Ikon Budaya Kutai dan Jejak Legenda Kerajaan Tertua di Nusantara!
Namun, meskipun sebagian masyarakat telah memeluk agama modern, tradisi dan nilai-nilai kepercayaan lama masih tetap dipertahankan dalam kehidupan sehari-hari.
Upacara adat seperti Tandia masih dilakukan hingga kini. Upacara ini biasanya diadakan untuk memperingati peristiwa penting, seperti panen atau kelahiran anak.
Selain itu, mereka juga memiliki tradisi gotong royong yang kuat dalam membangun rumah atau mengadakan acara adat.
Kontak dengan Dunia Luar dan Perubahan Sosial
BACA JUGA:Warisan Budaya Suku Kei: Sejarah, Nilai Larvul Ngabal, dan Kehidupan Maritim yang Masih Terjaga
Kontak Suku Enggano dengan dunia luar mulai meningkat pada masa kolonial Belanda.