Sejak dahulu, kawasan ini dijadikan padang penggembalaan ternak dan kuda, terutama jenis kuda Sandelwood yang terkenal tangguh dan lincah.
Medan bergelombang di sabana ini dianggap ideal untuk melatih ketangkasan kuda dan pengendaranya.
Selain itu, jalur perbukitan Wairinding juga pernah menjadi lintasan penting bagi masyarakat antarkampung yang berdagang atau bertukar hasil bumi.
Dengan demikian, bukit ini telah menjadi saksi aktivitas sosial dan ekonomi masyarakat Sumba sejak masa lampau.
Nilai Budaya dan Tradisi Lokal
Masyarakat Sumba dikenal dengan tradisi dan adat yang masih dijaga turun-temurun. Bagi sebagian warga, Bukit Wairinding dianggap sebagai kawasan yang memiliki nilai spiritual, sehingga dijaga kesuciannya.
BACA JUGA:Menapaki Sejarah di Benteng Patua Tomia: Warisan Penjajahan Belanda yang Sarat Nilai Budaya
Terdapat aturan tak tertulis agar pengunjung tidak merusak vegetasi alami atau membuang sampah sembarangan.
Beberapa ritual adat juga dilakukan di sekitar wilayah ini, seperti pemberkatan ternak menjelang musim kemarau.
Meskipun tidak dilakukan di puncak bukit, kawasan Wairinding tetap dianggap sebagai bagian dari lanskap sakral dalam pelaksanaan upacara adat tersebut.
Bukit Wairinding di Era Modern
Nama Bukit Wairinding mulai dikenal luas setelah dijadikan lokasi syuting film Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak pada tahun 2017.
BACA JUGA:Pulau Pandan: Surga Alam dengan Jejak Sejarah Belanda di Sumatera Barat
Pemandangan sabana yang luas dengan langit biru dan bukit bergelombang dalam film tersebut berhasil memukau penonton dan mengangkat popularitas Wairinding ke tingkat nasional hingga internasional.
Sejak saat itu, kawasan ini berkembang menjadi destinasi wisata unggulan di Sumba Timur. Pemerintah dan warga sekitar mulai mengelola kawasan tersebut secara mandiri, tetap berupaya menjaga keaslian alamnya.
Saat musim hujan, sabana berubah menjadi hijau segar, sedangkan di musim kemarau, warnanya berganti menjadi kuning keemasan yang dramatis.