PAGARALAMPOS.COM - Di tengah kekayaan budaya Indonesia, masyarakat Bugis dan Makassar di Sulawesi Selatan memiliki tradisi pernikahan khas yang disebut uang panai.
Tradisi ini lebih dari sekadar syarat administratif; ia merupakan bentuk penghormatan kepada keluarga dan bukti tanggung jawab calon suami dalam membangun rumah tangga.
Asal-usul dan Filosofi
Uang panai telah ada sejak zaman kerajaan Bugis dan Makassar pada abad ke-16. Pada masa itu, pernikahan bukan hanya soal cinta, tetapi juga sarana mempererat hubungan antar keluarga, memperkuat aliansi sosial, serta menjaga kelestarian adat dan budaya setempat.
Secara harfiah, kata “panai” berarti “bekal perjalanan” dalam bahasa Makassar. Awalnya, istilah ini merujuk pada dana yang dibawa calon suami saat melamar.
BACA JUGA:Keunggulan Seiko GPS Solar: Perpaduan Teknologi Modern dan Desain Mewah
BACA JUGA:Peluncuran OnePlus Nord CE4 Lite: Teknologi Aquatouch Jadi Andalan Baru
Seiring perkembangan waktu, uang panai berubah menjadi simbol penghormatan kepada keluarga calon istri, sebagai wujud apresiasi atas peran mereka dalam mendidik putri mereka.
Lebih dari Sekadar Nominal
Uang panai tidak hanya diukur dari jumlah uang. Ia mencerminkan kesiapan lahir dan batin calon suami untuk membangun rumah tangga.
Besaran uang panai biasanya mempertimbangkan status sosial, latar belakang keluarga, pendidikan, bahkan kecantikan mempelai perempuan.
Tradisi ini juga berakar pada filosofi siri’ na pacce, yang menekankan harga diri, rasa malu, dan solidaritas sosial. Uang panai bukan mahar atau alat tukar, melainkan simbol kehormatan dan tanggung jawab moral.
BACA JUGA:Suzuki Brezza, SUV Compact dengan Teknologi Canggih dan Harga Terjangkau
BACA JUGA:Antisipasi Karhutla, Kerahkan Helikopter Warterboombing dan Teknologi Cuaca di Sumsel
Tantangan di Era Modern