Kerajaan Tambora pun hilang tanpa jejak.
Sekitar 10.000 orang tewas seketika, sementara puluhan ribu lainnya meninggal akibat kelaparan dan penyakit setelah bencana.
Total korban diperkirakan mencapai 90.000 jiwa, menjadikannya salah satu tragedi alam paling mematikan di Nusantara.
Dampak Global: Tahun Tanpa Musim Panas
Letusan Tambora juga meninggalkan jejak besar bagi dunia. Abu vulkanik yang membumbung ke atmosfer menurunkan suhu rata-rata bumi.
Tahun 1816 bahkan dikenal sebagai “The Year Without a Summer” di Eropa dan Amerika Utara.
Panen gagal, salju turun pada bulan Juni, dan krisis pangan meluas. Kondisi ekstrem ini turut memengaruhi dunia sastra, salah satunya melahirkan novel terkenal Frankenstein karya Mary Shelley yang ditulis di tengah suasana kelam akibat bencana iklim tersebut.
BACA JUGA:Tempat Semayam Para Dewa? Ini Alasan Gunung Sumbing Dianggap Tempat Suci dan Sakral
BACA JUGA:Sejarah Gunung Kembar: Antara Legenda, Keindahan, dan Jejak Alam!
Warisan Tambora di Era Modern
Kini, Gunung Tambora menjadi bagian dari Taman Nasional Gunung Tambora, tempat yang melestarikan ekosistem sekaligus warisan sejarah letusan dahsyat itu.
Penelitian arkeologi menemukan sisa-sisa peradaban yang terkubur abu vulkanik, mulai dari bangunan hingga kerangka manusia.
Meski statusnya masih aktif, aktivitas vulkaniknya cenderung tenang, sehingga kawasan ini berkembang menjadi tujuan wisata dan penelitian bagi ilmuwan maupun pendaki dari seluruh dunia.