Belanda mungkin menguasai kota, tapi desa-desa Aceh tetap di luar kendali. Bahkan setelah Aceh secara administratif dianggap “aman” pada awal abad ke-20, perlawanan bersenjata masih muncul diam-diam namun efektif.
Banyak pahlawan lahir dari Aceh, seperti Cut Nyak Dhien, Teuku Umar, dan Tgk. Chik di Tiro. Mereka bukan hanya pejuang bersenjata, tetapi simbol semangat dan ideologi.
Khutbah Jumat dan pengajian malam menjadi sarana menanamkan nilai perlawanan, sehingga Aceh selalu menjadi medan yang tak pernah sepenuhnya menyerah.
Ketika Indonesia merdeka, semangat Aceh tetap unik. Mereka merasa telah berjuang jauh sebelum berdirinya Republik, dan ingin dihargai sebagai pelopor, bukan sekadar daerah bawahan.
BACA JUGA:Monumen Dharma Yudha Mandala: Jejak Sejarah dan Semangat Perjuangan TNI AD
Hal inilah yang membuat hubungan Aceh dengan pusat kekuasaan selalu kompleks, sejak era kolonial hingga masa kini.
Mengapa Belanda tak pernah menguasai Aceh sepenuhnya? Karena Aceh bukan sekadar wilayah yang bisa dipetakan; ia adalah jiwa, semangat, dan sejarah—sesuatu yang tak bisa ditundukkan hanya dengan senjata.