Aceh, Benteng Tak Terkalahkan: Mengungkap Kesulitan Belanda Menaklukkan Wilayah Ini

Minggu 24-08-2025,05:53 WIB
Reporter : Elis
Editor : Almi

PAGARALAMPOS.COM - Aceh, nama singkat namun sarat sejarah. Terletak di ujung barat Nusantara, wilayah ini terkenal bukan hanya karena kopi atau bencana tsunami, tetapi juga karena perlawanan panjangnya terhadap penjajahan Belanda.

Sementara daerah lain di Hindia Belanda satu per satu jatuh ke tangan kolonial, Aceh tetap mempertahankan kedaulatannya. Kadang tenang, kadang meledak dengan perlawanan.

Aceh bukan sekadar lokasi geografis; ia merupakan benteng budaya, agama, dan harga diri.

Sejak berabad-abad lalu, Aceh dikenal sebagai Serambi Mekah, di mana Islam bukan sekadar keyakinan, melainkan cara hidup.

Ketika Belanda datang dengan misi perdagangan yang kemudian berubah menjadi kolonisasi, mereka menemui masyarakat yang siap bertahan tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara spiritual.

BACA JUGA:Menyingkap Sejarah Kerak Telor, Kuliner Betawi Legendaris yang Pernah Jadi Favorit Bangsawan Belanda

Perang Aceh (1873–1904) tercatat sebagai salah satu konflik terpanjang yang pernah dihadapi Belanda di Nusantara. Biaya yang dikeluarkan sangat besar, baik dalam nyawa maupun materi.

Banyak jenderal Belanda gugur di tanah Aceh, termasuk Jenderal Kohler, yang tewas beberapa hari setelah mendarat di Masjid Raya Baiturrahman—peristiwa yang justru menjadi simbol perlawanan rakyat Aceh.

Aceh menunjukkan bahwa kekuatan militer saja tidak cukup untuk menundukkan semangat sebuah bangsa. Di balik pertempuran bersenjata, terdapat jaringan ulama, pesantren, dan struktur sosial yang kokoh.

BACA JUGA:Tradisi Tabuik Pariaman: Sejarah, Makna, dan Prosesi Penuh Keunikan

Meski kalah jumlah dan persenjataan, rakyat Aceh menang dalam semangat dan keteguhan hati.

Belanda sempat mencoba berbagai strategi, mulai dari politik etis, pembangunan infrastruktur, hingga penyebaran agama Kristen secara halus.

Namun, semua upaya tersebut gagal signifikan. Aceh tetap memelihara identitas dan memori kolektif sebagai bangsa merdeka, menolak diidentifikasi sebagai “inlander” atau rakyat tak berdaulat.

Gerilya menjadi senjata utama. Pasukan kecil bergerak cepat, menyerang secara sporadis, dan memanfaatkan medan yang mereka kuasai.

BACA JUGA:Jejak Sejarah Suku di Jambi: Dari Tradisi Kuno hingga Pengaruh Peradaban Cina

Kategori :