PAGARALAMPOS.COM - Di balik keindahan panorama Bali yang terkenal hingga ke mancanegara, tersembunyi sebuah desa bernama Trunyan, yang memiliki adat pemakaman berbeda dari daerah Bali pada umumnya.
Terletak di tepi timur Danau Batur, wilayah ini dikenal dengan tradisi unik dalam memperlakukan jenazah: tidak dikubur maupun dibakar, namun tetap tidak menimbulkan bau tak sedap.
Jejak Sejarah dan Asal Mula Desa Trunyan
Desa Trunyan dipercaya sebagai salah satu permukiman tertua di Pulau Dewata dan dihuni oleh komunitas Bali Aga, yang merupakan penduduk asli Bali sebelum pengaruh Hindu dari Kerajaan Majapahit masuk.
BACA JUGA:Sejarah Rumah Adat Maluku Utara: Sasadu, Simbol Persatuan dan Kearifan Lokal Masyarakat Sahu!
BACA JUGA:Sejarah Rumah Adat Kalimantan Selatan: Mengenal Arsitektur dan Nilai Budaya Rumah Baanjung!
Nama “Trunyan” diyakini berasal dari pohon Taru Menyan—sebuah pohon besar di area pemakaman yang mengeluarkan wangi khas.
Aroma dari pohon ini dipercaya menetralisir bau dari jenazah yang dibiarkan terbuka di alam.
Letaknya yang terpencil membuat tradisi dan nilai-nilai lokal di desa ini tetap terjaga dan dilestarikan secara turun-temurun oleh masyarakat setempat.
Prosesi Pemakaman Ala Trunyan
Di desa ini, jenazah yang meninggal secara alami dan telah menikah akan menjalani prosesi pemakaman yang disebut Mepasah.
BACA JUGA:Menelusuri Sejarah Suku Bajo: Pengembara Laut dari Masa ke Masa!
BACA JUGA:Sejarah Bukit Karst: Jejak Geologi Purba, Warisan Alam, dan Budaya yang Terancam!
Mayat tidak dikuburkan atau dikremasi, tetapi hanya dibungkus kain putih dan diletakkan di atas tanah, kemudian ditutup menggunakan pagar bambu yang disebut sema wayah.