Perjanjian Giyanti: Luka dalam Sejarah yang Memecah Darah dan Tahta

Jumat 23-05-2025,01:54 WIB
Reporter : Elis
Editor : Almi

PAGARALAMPOS.COM - Pada masa itu, langit di wilayah Jawa Tengah tampak muram.

Bukan sekadar karena mendung, melainkan karena bayang-bayang ketegangan yang menyelimuti istana-istana warisan Mataram yang mulai tercerai.

Di sebuah dusun kecil bernama Giyanti, yang kini berada di wilayah Karanganyar, tercatat sebuah peristiwa penting yang menjadi titik balik dalam sejarah kerajaan-kerajaan Jawa: Perjanjian Giyanti.

Meski namanya terdengar lembut, perjanjian yang ditetapkan pada 13 Februari 1755 ini membawa luka dalam bagi kejayaan Mataram di masa silam.

Namun, gejolak itu bukan muncul seketika. Akar persoalannya telah tumbuh sejak wafatnya Raja Amangkurat IV, meninggalkan warisan konflik yang terus membesar seiring waktu.

BACA JUGA:Sejarah Candi Arjuna: Jejak Peradaban Hindu Tertua di Dataran Tinggi Dieng

BACA JUGA:Menguak Sejarah Candi Tara: Keagungan Warisan Buddha dari Abad ke-8!

Sepeninggal sang raja, takhta kerajaan menjadi rebutan.

Dua tokoh utama muncul: Pakubuwono III yang mendapat sokongan dari VOC, dan Pangeran Mangkubumi, sang adik raja, yang merasa dikhianati dan dilucuti hak-haknya.

Mangkubumi bukan pemberontak sembarangan. Ia adalah bangsawan terdidik, tumbuh dalam budaya keraton.

Namun, saat hak atas tanahnya diambil dan intervensi VOC makin menjadi-jadi, harga dirinya terguncang.

Dan yang paling menyakitkan—saudaranya sendiri justru tunduk pada kekuasaan asing.

BACA JUGA:Menelusuri Sejarah Gedung Juang Tambun: Saksi Bisu Perjuangan Rakyat Bekasi!

BACA JUGA:Sejarah Gedung Societeit Yogyakarta: Dari Tempat Hiburan Kaum Elite Kolonial ke Pusat Kesenian Rakyat!

Perang saudara pun tak terelakkan.

Kategori :