Idealisme yang Terlalu Murni, Dunia yang Terlalu Kejam Kisah Soe Hok Gie

Jumat 09-05-2025,15:45 WIB
Reporter : Yogi
Editor : Gelang

Gaya tulisannya lugas, emosional, dan penuh refleksi, Ia memotret Indonesia yang ia cintai dengan segala keindahan alamnya, tetapi juga segala luka sosial yang menganga akibat ketidakadilan.

Dalam catatan hariannya, Gie menulis, “Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan. 

Kalimat ini menjadi semacam kredo hidupnya, menunjukkan bahwa bagi Gie, menjadi idealis bukan pilihan mudah, melainkan jalan sepi yang penuh pengorbanan.

Gie adalah idealis yang kerap merasa sendiri. 

BACA JUGA:Sejarah Bukit Jaddih: Dari Tambang Kapur Menuju Destinasi Wisata Madura!

Ia tidak terikat oleh ideologi politik tertentu dan sering berjarak dengan organisasi-organisasi mahasiswa yang lebih pragmatis. 

Dalam tulisan-tulisannya, Gie juga menunjukkan kekecewaannya terhadap mahasiswa yang kehilangan semangat kritis, atau para pemuda yang cepat puas setelah perubahan kekuasaan.

Namun di sisi lain, ia juga pencinta alam. Gunung adalah tempat pelarian sekaligus ruang kontemplasi bagi Gie. 

Ia menemukan ketenangan dalam pendakian, menjauh dari hiruk-pikuk politik dan kepalsuan dunia.

BACA JUGA:Sejarah Pulau Umang: Dari Pelabuhan Nelayan Hingga Destinasi Wisata Eksklusif di Ujung Barat Banten!

Tragedi menutup bab kehidupan Soe Hok Gie secara dramatis. 

Pada 16 Desember 1969, sehari sebelum ulang tahunnya yang ke-27, Gie mengembuskan napas terakhirnya di puncak Gunung Semeru akibat menghirup gas beracun dari kawah.

Kepergiannya yang mendadak menyisakan duka, tetapi juga meninggalkan warisan intelektual dan moral yang abadi.

Gie mati muda, namun pikirannya terus hidup. Ia menjadi simbol perlawanan terhadap kekuasaan yang korup dan keserakahan yang membunuh nurani. 

BACA JUGA:Sejarah Pantai Carita: Dari Letusan Krakatau hingga Destinasi Wisata Andalan di Pesisir Banten!

Ia adalah suara hati yang terus menggema, bahkan di zaman yang semakin gaduh.

Kategori :