Di beberapa masa, benteng ini juga digunakan sebagai penjara untuk menahan para pejuang pribumi yang dianggap mengancam stabilitas kekuasaan kolonial.
Selain sebagai fasilitas militer, benteng ini juga menjadi pusat kegiatan administratif.
Para pegawai VOC menjalankan tugas-tugas pemerintahan, pencatatan hasil bumi, hingga pengaturan pajak di dalam kompleks benteng.
Dengan kata lain, benteng ini bukan hanya sebagai struktur pertahanan, tetapi juga sebagai simbol kekuasaan dan kontrol kolonial atas rakyat setempat.
BACA JUGA:Renville Ketika Meja Perundingan Menjadi Medan Perebutan Nasib Bangsa
Masa Penurunan dan Abandonment
Memasuki abad ke-19, seiring melemahnya kekuasaan Belanda akibat tekanan dari negara lain serta perlawanan rakyat Indonesia yang semakin intens, banyak benteng termasuk Benteng Merah Belanda mengalami degradasi fungsi.
Perlahan-lahan, tempat ini ditinggalkan dan tidak lagi digunakan sebagai pos militer aktif. Beberapa bagian bangunan mengalami kerusakan karena usia dan kurangnya perawatan.
Saat Jepang menduduki Indonesia pada Perang Dunia II, benteng ini sempat diambil alih dan digunakan kembali sebagai markas militer.
BACA JUGA:Pesona Pulau Nusa Barong: Menelusuri Keindahan Alam dan Legenda yang Mengelilinginya di Jawa Timur
Namun, setelah kemerdekaan Indonesia pada 1945, nasib benteng ini kembali terabaikan. Beberapa bagian hancur, dan sebagian lainnya dijarah atau diubah fungsinya oleh warga sekitar.
Upaya Pelestarian dan Tantangan
Dalam beberapa dekade terakhir, kesadaran akan pentingnya pelestarian situs sejarah mulai tumbuh.
Pemerintah daerah bersama sejumlah komunitas sejarah dan arkeologi mulai melakukan inventarisasi dan restorasi terhadap Benteng Merah Belanda.
Proses restorasi tidak selalu berjalan mulus, karena minimnya dana, kurangnya dokumentasi asli, serta tekanan pembangunan modern yang mengancam kawasan sekitar benteng.
BACA JUGA:Menyelami Keindahan dan Misteri Pulau Nusa Barong Jawa Timur: Surga Tersembunyi di Laut Selatan