Mengungkap Lonceng Cakra Donya: Warisan Diplomasi Aceh dan Tiongkok di Masa Silam

Senin 07-04-2025,17:54 WIB
Reporter : Elis
Editor : Almi

PAGARALAMPOS.COM - Lonceng Cakra Donya adalah salah satu artefak penting di Aceh yang menggambarkan hubungan erat antara Kesultanan Samudera Pasai dan Dinasti Ming Tiongkok.

Artefak ini diperkirakan berasal dari abad ke-15, sekitar tahun 1409 M, dan saat ini dapat ditemukan di Museum Aceh, Banda Aceh.

Bentuk lonceng ini menyerupai stupa, dengan tinggi sekitar 1,25 meter dan diameter satu meter.

Lonceng tersebut diyakini sebagai hadiah dari Kaisar Yongle kepada Kesultanan Samudera Pasai, sebagai simbol persahabatan kedua negara, khususnya dalam perdagangan rempah-rempah yang berkembang pesat pada masa itu.

BACA JUGA:Menelusuri Sejarah Misteri Lubang Buaya: Antara Fakta, Mitos, dan Kontroversi!

BACA JUGA:Sejarah Misteri Kota Bawah Laut di Danau Toba: Legenda yang Menghanyutkan Imajinasi!

BACA JUGA:Menilik Kisah Sejarah Kapal Hantu SS Ourang Medan: Misteri yang Menghantui Samudra!

Pada puncak kejayaannya, Samudera Pasai merupakan pusat perdagangan rempah yang memasok kebutuhan banyak wilayah, termasuk Tiongkok.

Setelah kemunduran Kesultanan Samudera Pasai pada abad ke-16, Kesultanan Aceh Darussalam menggantikannya, dan lonceng ini kemudian dipindahkan ke ibu kota Aceh oleh Sultan Ali Mughayatsyah.

Pada masa Sultan Iskandar Muda di abad ke-17, lonceng ini digunakan sebagai alat komunikasi di kapal perang Aceh yang dinamai Cakra Donya. Selain itu, lonceng ini juga berfungsi untuk aktivitas keagamaan, seperti penanda waktu azan dan berbuka puasa.

Lonceng Cakra Donya tidak hanya menjadi simbol kejayaan maritim Aceh, tetapi juga digunakan dalam berbagai momen penting.

BACA JUGA:Menelusuri Sejarah Gunung Api Mahengetang: Keajaiban Vulkanik di Bawah Laut!

BACA JUGA:Sejarah Pulau Dana: Dari Kepercayaan Leluhur Hingga Isu Kedaulatan dan Potensi Ekowisata di Selatan Indonesia

BACA JUGA:Menelusuri Sejarah Pantai Biak: Keindahan Alam dan Jejak Sejarah yang Mendalam!

Meskipun sempat berada di tangan Portugis, akhirnya lonceng ini dipindahkan ke Museum Aceh pada tahun 1951, di mana kini menjadi koleksi berharga.

Kategori :