Penebangan liar serta pembukaan lahan untuk perkebunan skala besar telah mencerminkan ruang hidup Suku Togutil.
BACA JUGA: 7 Ulama yang Terkenal Perjuangannya dalam Sejarah Kemerdekaan Indonesia
Selain itu, konsesi tambang yang diberikan kepada perusahaan sering kali mengabaikan keberadaan masyarakat adat.
Sebagai masyarakat yang tidak memiliki dokumen hukum kepemilikan tanah, Suku Togutil sulit mempertahankan hak atas wilayah mereka.
Hutan yang secara turun-temurun menjadi milik adat dianggap sebagai tanah negara yang dapat dikelola sesuai kepentingan ekonomi.
Kondisi ini memaksa mereka untuk terus pindah, bahkan keluar dari wilayah leluhur mereka.
BACA JUGA: Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928: Tonggak Sejarah Persatuan dalam Perjuangan Bangsa
Dampak Sosial dan Ekologis
Konflik atas tanah tidak hanya mengancam kelestarian budaya Suku Togutil, tetapi juga merusak ekosistem hutan Halmahera.
Hilangnya hutan menyebabkan degradasi lingkungan, seperti hilangnya keanekaragaman hayati, erosi tanah, dan perubahan iklim lokal.
Bagi Suku Togutil, kehilangan hutan berarti kehilangan identitas mereka.
Tradisi, bahasa, dan kearifan lokal yang mereka warisi dari nenek moyang berisiko punah jika mereka terpaksa meninggalkan kehidupan tradisional.
Selain itu, konflik sering kali memicu kekerasan dan diskriminasi, membuat mereka semakin terpinggirkan.
BACA JUGA: Mengenang Sumpah Pemuda: Jejak Sejarah dan Makna Persatuan Bangsa pada 28 Oktober 1928
Upaya Perlindungan dan Solusi
Beberapa organisasi masyarakat sipil dan lembaga lingkungan telah berupaya membantu Suku Togutil untuk memperjuangkan hak mereka.