Hitu menjadi pusat pengumpulan rempah-rempah yang akan diekspor ke berbagai belahan dunia, menjadikannya salah satu pusat ekonomi terpenting di kawasan timur Nusantara.
BACA JUGA:Kesultanan Serdang: Kebangkitan dan Kehancuran dalam Sejarah Indonesia
Selain cengkeh, Tanah Hitu juga terlibat dalam perdagangan hasil laut, termasuk teripang, mutiara, dan hasil bumi lainnya yang diperdagangkan ke berbagai wilayah Asia dan bahkan hingga Timur Tengah.
Posisi ini menjadikan Tanah Hitu salah satu kerajaan terkuat di kawasan Maluku.
Namun, kemunculan bangsa Eropa pada awal abad ke-16 mulai mengubah dinamika politik dan perdagangan di kawasan ini.
Bangsa Portugis pertama kali tiba di Maluku pada tahun 1512 dan mulai berupaya menguasai perdagangan rempah-rempah di wilayah tersebut.
BACA JUGA:Jejak Sejarah Kesultanan Pontianak: Perjalanan Melawan Kolonialisme
Portugis mencoba mendominasi Kerajaan Tanah Hitu dan kerajaan-kerajaan lain di Maluku, yang menyebabkan ketegangan antara penduduk lokal dan bangsa asing tersebut.
Konflik dengan Portugis
Bangsa Portugis, yang berambisi untuk menguasai perdagangan rempah, menimbulkan keresahan di kalangan penguasa lokal.
Tanah Hitu, bersama kerajaan lain di Maluku, seperti Kerajaan Ternate dan Tidore, melakukan perlawanan terhadap upaya penjajahan Portugis.
Pada pertengahan abad ke-16, kerajaan ini bergabung dalam aliansi dengan Ternate untuk melawan dominasi Portugis yang semakin agresif di wilayah Maluku.
BACA JUGA:Menyusuri Sejarah Kesultanan Paser: Dari Kerajaan Lokal Menuju Pengaruh Kolonial
Perlawanan Tanah Hitu terhadap Portugis dipimpin oleh pemimpin lokal yang berani, yang sering kali melakukan serangan terhadap pos-pos Portugis.
Meskipun mengalami banyak kekalahan, semangat perlawanan dari Kerajaan Tanah Hitu tidak pernah surut.
Portugis mengalami kesulitan untuk sepenuhnya menguasai Maluku karena perlawanan gigih dari kerajaan-kerajaan lokal.