Selama masa kejayaannya, Kerajaan Pagaruyung dikenal sebagai pusat kekuasaan dan perdagangan di Sumatra.
BACA JUGA:Mengungkap Sejarah Kerajaan Medang: Pusat Peradaban Hindu-Buddha di Jawa
Kerajaan ini memiliki hubungan diplomatik yang baik dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara dan bahkan dengan negara-negara asing seperti Cina.
Letak strategis Pagaruyung yang berada di jalur perdagangan rempah-rempah membuat kerajaan ini menjadi pusat ekonomi yang penting.
Selain perdagangan, Pagaruyung juga dikenal sebagai pusat kebudayaan dan penyebaran agama Islam di wilayah Minangkabau.
Pada masa itu, banyak pedagang Arab dan Gujarat yang datang ke Sumatra Barat dan membawa ajaran Islam, yang kemudian menyebar luas di kalangan masyarakat Pagaruyung.
BACA JUGA:Menggali Sejarah Kadipaten Mangkunagaran: Dari Pangeran Sambernyawa hingga Warisan Budaya
Islam diintegrasikan dengan adat istiadat Minangkabau, melahirkan pepatah terkenal "Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah" yang artinya adat didasarkan pada syariat, dan syariat didasarkan pada Al-Qur'an.
Penurunan Kekuasaan dan Pengaruh Kolonial
Pada awal abad ke-19, Kerajaan Pagaruyung mengalami masa-masa sulit.
Salah satu faktor utama yang menyebabkan kemunduran kerajaan ini adalah konflik internal yang dikenal sebagai Perang Padri (1803-1837).
Perang ini bermula sebagai pertikaian antara kaum adat dan kaum Padri yang dipimpin oleh ulama reformis yang ingin menegakkan syariat Islam secara lebih ketat.
BACA JUGA:Mengenal Kadipaten Mangkunagaran: Sejarah, Kesenian, dan Identitas Budaya
Konflik ini memecah belah masyarakat Minangkabau dan melemahkan kekuatan Kerajaan Pagaruyung.
Keadaan semakin rumit ketika Belanda, yang sedang berusaha memperluas pengaruhnya di Sumatra Barat, ikut campur dalam konflik tersebut.
Pada tahun 1821, Belanda memanfaatkan perang saudara ini untuk mendirikan kekuasaan kolonial mereka di wilayah Pagaruyung.