Runtuhnya tugu ini menjadi momen yang signifikan, karena meruntuhkan salah satu simbol penting kota yang saat itu sudah mulai dikenal sebagai pusat kebudayaan dan pemerintahan Kesultanan Yogyakarta.
BACA JUGA:Sinopsis Film Bonnie, Kisah Remaja Perempuan yang Jago Bela Diri
Setelah kejadian tersebut, pemerintah kolonial Belanda mengambil alih perbaikan dan pemugaran tugu.
Proses pemugaran ini bukan hanya sekedar membangun kembali tugu yang runtuh, tetapi juga mengubah desain dan filosofi asli yang melekat pada tugu tersebut.
Renovasi dan Perubahan Desain
Tahun 1889, Belanda merombak tugu dengan desain baru yang lebih sesuai dengan arsitektur kolonial.
Tugu yang awalnya tinggi dan berbentuk bulat sederhana, berubah menjadi lebih pendek dengan tinggi sekitar 15 meter, serta memiliki empat sudut berbentuk persegi dengan ujung lancip di bagian puncaknya.
BACA JUGA:Drakor Beauty and the Devoted, Kisah Titik Balik Aktris Papan Atas
Perubahan ini menghilangkan simbol "gilig" yang bulat di atasnya dan menggantinya dengan ornamen berupa bola kecil.
Selain perubahan fisik, makna filosofis tugu ini pun bergeser.
Jika sebelumnya Tugu Golong Gilig melambangkan persatuan antara rakyat dan raja, Tugu baru ini dikenal sebagai "Tugu Pal Putih".
Tugu ini lebih menjadi simbol penanda pusat kota dan keberadaan Yogyakarta di bawah pengaruh kolonialisme Belanda, meskipun tetap dipandang sebagai salah satu monumen penting bagi masyarakat Yogyakarta.
BACA JUGA:Sinopsis Film Horor Abigail, Penuh Plot Twist Balerina dan Vampir
Tugu Sebagai Simbol Perjuangan
Meskipun mengalami perubahan bentuk dan makna, Tugu Jogja tetap menjadi simbol perjuangan rakyat Yogyakarta dalam mempertahankan identitas budaya dan kebebasan dari kolonialisme.
Selama masa perjuangan kemerdekaan, tugu ini sering dijadikan titik kumpul bagi para pejuang.