Menjelajahi 7 Desa Adat di Jawa Barat, Begini Keunikan Tradisinya

Minggu 18-08-2024,22:53 WIB
Reporter : Gusti
Editor : Bodok

Terdapat enam rumah adat yang didirikan oleh keturunan Embah Dalem Arif Muhammad, terdiri dari 5 wanita dan 1 pria, serta satu masjid sebagai tambahan bangunan di tengah pemukiman.

Keunikan Kampung Pulo terkenal salah satunya dengan aturan ketat mengenai jumlah rumah yang tidak boleh lebih atau kurang dari enam,.

BACA JUGA:Liburan ke Sumba, Kamu Wajib Cicipi 5 Kuliner Khas yang Lezat

Serta jumlah penghuni yang tidak boleh melebihi enam kepala keluarga per rumah. Jika ada anak yang menikah, mereka harus keluar dari kampung dalam dua minggu.

Selain itu, ada juga aturan unik berupa larangan memukul gong besar dan berziarah pada hari Rabu, serta tidak boleh memelihara hewan ternak berkaki empat.

Aturan-aturan ini diyakini untuk menjaga keharmonisan dengan leluhur dan alam, membuat Kampung Pulo menjadi destinasi wisata budaya yang terkenal di Kabupaten Garut!

5. Kampung Cireundeu

Kampung Adat Cireundeu yang terletak di Kelurahan Leuwigajah, Cimahi Selatan, Jawa Barat, punya luas sekitar 42 hektar yang sebagian besar lahannya difungsikan sebagai pertanian.

Nama “Cireundeu” berasal dari pohon reundeu yang dulu banyak tumbuh di sana. Masyarakat Kampung Cireundeu hidup dengan prinsip “Ngindung Ka Waktu, Mibapa Ka Jaman“, yang berarti mereka mengikuti perkembangan zaman tanpa melupakan tradisi.

BACA JUGA:Mengenal Busana Adat Kustin, Seragam Kebesaran di Zaman Kesultanan Kutai

Konsep adat kampung ini membagi lahan menjadi tiga bagian: Leuweung Larangan (hutan terlarang), Leuweung Tutupan (hutan reboisasi), dan Leuweung Baladahan (hutan pertanian), yang semuanya memiliki aturan ketat untuk menjaga keseimbangan alam.

Salah satu tradisi unik di Cireundeu adalah puasa tidak mengonsumsi beras, sebagai cara untuk menguji keimanan dan mendapatkan kemerdekaan lahir batin.

Tradisi ini terkait dengan ungkapan leluhur, “Teu Boga Sawah Asal Boga Pare, Teu Boga Pare Asal Boga Beas, Teu Boga beas Asal Bisa Nyangu,

Teu Nyangu Asal Dahar, Teu Dahar Asal Kuat” yang berarti “tidak punya sawah asal punya beras, tidak punya beras asal dapat menanak nasi, tidak punya nasi asal makan, tidak makan asal kuat”.

BACA JUGA:Bikin Romantis, 8 Resort Terbaik untuk Bulan Madu di Lombok

Sebagai gantinya, mereka mengonsumsi rasi atau beras singkong, tradisi yang telah berlangsung sekitar 98 tahun sejak sawah mereka mengering pada tahun 1918. Singkong diolah menjadi berbagai camilan, menjadikannya makanan pokok yang konsisten hingga kini.

Kategori :