Pada awalnya, naskah-naskah yang diterjemahkan adalah ilmu pragmatis atau eksakta. Pada masa awal penerjemahan, bidang keilmuan yang diterjemahkan adalah astrologi, kimia, dan kedokteran. Kemudian, disusul dengan naskah filsafat dari dua filsuf besar Yunani, yaitu Aristoteles dan Plato.
Kunci keberhasilan dari gerakan penerjemahan di masa Abbasiyah adalah dibukanya Baitul Hikmah. Tempat ini merupakan gedung perpustakaan yang digunakan sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan.
Pada masa tersebut, Baitul Hikmah berjalan seperti universitas, yaitu tempat untuk berdiskusi gagasan dalam keilmuan.
Gerakan penerjemahan karya asing ke dalam bahasa Arab membuka jalan bagi kebangkitan intelektual di masa Abbasiyah. Mereka membangun Kota Baghdad sebagai pusat ilmu pengetahuan dan ibu kota negara.
Beberapa tokoh ilmuwan lahir pada masa ini dari berbagai bidang pengetahuan. Dalam bidang tafsir, ada Ibnu Jarir at-Tabary, Ibnu Atiyah al-Andalusy, As-Suda, Mupatil bin Sulaiman, dan Muhammad bin Ishak.
Dalam bidang filsafat, terdapat nama seperti Al-Kindi, Ibnu Sina, Al-Farabi, Ibnu Rusyd, Abu Bakar Ibnu Thufail, Al-Ghazali, dan Abu Bakar Muhammad bin as-Sayig (Ibnu Bajjah). Dalam Tasawuf terdapat nama Ibnu Jarir at-Tabary, Khatib Baghdadi, Ibnu Hayyan, Ibnu Batutah, dan Ibnu Khaldun.
BACA JUGA:Kembalikan Peradaban Islam yang Kian Memudar, Tanamkan Nilai Keislaman Sejak Dini
Dalam ilmu eksakta seperti matematika, terdapat cendekiawan muslim Al-Khawarizmi yang berjasa dalam bidang matematika sebagai penemu angka nol dan dikenal sebagai Bapak Aljabar.
Dalam bidang kedokteran, Dinasti Abbasiyah menghasilkan Ibnu Sina yang dikenal sebagai Bapak Dokter Islam, ada juga Jabir bin Hayyan yang sangat ahli dalam bidang kimia.
Selain nama-nama yang disebutkan di atas, masih banyak lagi ilmuwan Islam yang lahir di masa Abbasiyah berkat komitmen yang kuat terhadap pengembangan ilmu pengetahuan. (*)