PAGARALAMPOS.COM - Di masa lalu, teh merupakan salah satu barang dagangan penting di Kekaisaran Tiongkok. Inggris bahkan sempat berusaha mematahkan monopoli perdagangan teh yang sempat dikuasai oleh Tiongkok itu.
Pada awal tahun 1700-an, Dinasti Qing yang berkembang telah menyebar ke wilayah etnis Tibet di Sichuan. Saat itu, Dinati Qing mulai mengekspor teh hitam murah dalam jumlah besar ke masyarakat Himalaya.
Pada puncaknya, perdagangan ini memindahkan hampir 16 juta pon (setara 7,2 juta kg) teh per tahun. Semua teh itu diolah menjadi batu bata kering dan sebagian besar diangkut dari perkebunan dengan menggunakan punggung manusia.
Manusia merupakan alat angkut yang lebih ekonomis dibandingkan kuda beban. Sebagian besar pembawa adalah laki-laki.
BACA JUGA:Wow, Inilah Pesona Gunung Cilik Wonosobo, Keindahan Perkebunan Teh yang Instagramable Cuk!
Namun perempuan dan anak-anak terkadang juga diangkut. Ribuan muatan mereka berakhir dengan jutaan cangkir teh mentega yak.
“Saya melihat mereka ketika saya masih kecil. Mereka selalu membungkuk,” ungkap Chen Shou Kang kepada Paul Salopek di laman National Geographic.
Chen yang ramah dan energik bahkan di usia 80-an merupakan sejarawan tidak resmi dari Desa Wayao Guan.
Desa tersebut terletak di pegunungan bergelombang di Tiongkok barat. Chen mengingat beifu terakhir yang dilihatnya.
BACA JUGA:Villa Besemah, Sajikan Keindahan Perkebunan Teh
Beifu Membawa Muatan Sebesar Lemari Es Modern
Beifu adalah kuli teh legendaris yang selama 250 tahun memikul beban berat membawa teh hitam melintasi Himalaya timur dan ke Tibet.
Dari generasi ke generasi, mungkin ada dua juta orang yang bersusah payah melintasi jalur-jalur teh di Tiongkok yang berbahaya. Para beifu membawa muatan yang seberat lemari es modern.
Mereka melakukan ini dengan mengenakan sandal rumput atau bertelanjang kaki, di ketinggian lebih dari 3.320 mdpl.
Perjalanan dilakukan selama berminggu-minggu. Seringkali, mereka hanya berhasil beberapa langkah sebelum berhenti karena kelelahan.