Hal itu membuat Pangeran Diponegoro berusaha melakukan perlawanan dengan berbagai bentuk berikut: Melakukan perang gerilya, Melakukan perlawanan besar-besaran ketika musim hujan.
Salah satu strategi utamanya adalah menyerang Keraton Yogyakarta sebagai respons terhadap campur tangan Belanda dalam urusan keraton.
BACA JUGA:Sejarah dan Kebudayaan Suku Bangsa Arab di Era Rasulullah
BACA JUGA:Dari Bertukar Barang hingga Transaksi Digital, Begini Sejarah dan Perkembangan Uang
Di penghujung Desember 1829, telah jelas bagi Pangeran Diponegoro bahwa Belanda sudah menang perang.
Apalagi pada bulan sebelumnya, Diponegoro menyatakan kepada Mangkubumi bahwa perjuangannya akan sia-sia belaka bila diteruskan.
Berkali-kali utusan Jenderal De Kock datang membujuk Diponegoro.
Dirinya memberikan beberapa opsi untuk melunakkan hati sang pangeran.
BACA JUGA:Mengungkap Sejarah Berdirinya Kerajaan Kutai Dari Masa Kejayaan Hingga Runtuhnya Kerajaan Kutai
BACA JUGA:Mengenal Sejarah Kerajaan Kutai Dari Pertama Berdirinya Hingga Masa Runtuhnya Kerajaan
Misalnya agar Keraton Yogya dibagi menjadi tiga wilayah hingga menawarkan Diponegoro wilayah kerajaan sendiri.
Pangeran Diponegoro setuju untuk bertemu dengan Jan Baptist Cleerens, utusan Jenderal De Kock pada 16 Februari.
Diponegoro mengutus Kiai Pekih Ibrahim dan Haji Badarudin bertemu dengan Cleerens, tetapi tak ada satu poin pun disepakati.
Cleerens lalu membujuk agar Diponegoro melanjutkan perjalanan dan menunggu di Menoreh.
BACA JUGA:Mengenal Sejarah Kerajaan Kutai Dari Pertama Berdirinya Hingga Masa Runtuhnya Kerajaan
BACA JUGA:kerajaan Kutai: Sejarah, Masa Kejayaan Hingga Runtuhnya Kerajaan