Melihat hal itu, prajurit Pasuruan pun mengumpat tumenggungnya. “Majikan gila. Berhentilah, nanti kupenggal.”
Prajurit Mataram mengejar Tumenggung Kapulungan. Ia segera memacu kudanya kencang-kencang hingga terjatuh. Bekal nasi kering berceceran, alat untuk memadat juga hilang.
Kapulungan mencoba merangkak bangun, untuk berlari mencari persembunyian. Istrinya ia tinggalkan begitu saja.
Berlari kepayahan, ia meratapi nasib. “Celakanya diriku ini. Karak habis berceceran, kuda hilang, istri pun hilang. Nasi tak ada, apa lagi yang akan dimakan?”
BACA JUGA:Inilah Sejarah Candi Megah di Dalam Akar Pohon Raksasa yang Menyimpan Penuh Misteri
BACA JUGA:Mengulik Sejarah Lukisan Prasejarah di Situs Purbakala Tapurarang
Saat itu ia pun sakau. Ingin madat, tetapi alatnya pun hilang.
Esok harinya, Jumat, pasukan Mataram berhasil merebut Pasuruan. Perempuan-perempuan yang masih tinggal, diboyong ke Mataram bersama barang-barang hasil jarahan.
Tindakan Adipati Manduro yang hendak menerjang pagar yang dibuat Joyosuponto dilaporkan kepada Sultan Agung.
Tapi Sultan Agung meminta agar masalah Adipati Manduro tidak usah diperpanjang, karena ia sedang ingin memuaskan hatinya
setelah berhasil merebut Pasuruan.
BACA JUGA:Mengulik Misteri dan Sejarah di Bangunnya Piramida Zaman Dahulu
BACA JUGA:Sudah Ada Sejak Romawi Kuno, Begini Sejarah Kamal Kanal Amsterdam
Di hari lain, Sultan Agung menerima laporan bahwa Adipati Pajang berbesanan dengan Adipati Tuban. “Apa maksudnya akan membangkang?” tanya Sultan Agung.
Joyosuponto pun melaporkan tindakan Adipati Manduro hendak menerjang pagar saat penyerbuan Pasuruan. “Apa memang begitu? Apa Si Paman Manduro demikian juga? Ia orang tua, apa mungkin ia akan membangkang?
Di kemudian hari, Adipati Manduro berkirim surat kepada Adipati Pajang. “Bersama ini, Adinda, saya ingin membicarakan maksud Adinda untuk berbalik melawan Mataram.