Para peneliti yang mempelajari sisa-sisa manusia dari Pompeii berhasil mengungkap informasi genetika dari tulang seorang laki-laki dan seorang perempuan yang terkubur 2.000 tahun lalu ketika kota Romawi itu ditenggelamkan abu vulkanik.
BACA JUGA:Menenal Sejarah Bharatayudha: Kisah Perang Antar Saudara Pandawa dan Kurawa yang Melegenda
BACA JUGA:Mengenal Sejarah Perkereta Apian Indonesia! Inilah Sekilas Jejak Museum Kereta Api Ambarawa
"Genom manusia Pompeii" pertama ini adalah seperangkat "instruksi genetika" yang hampir lengkap dari para korban, terkode dalam DNA yang diekstraksi dari tulang mereka.
DNA manusia kuno itu terawetkan dengan sangat baik dalam jasad yang terbungkus abu yang mengeras seiring waktu.
Kedua orang itu pertama kali ditemukan pada 1933, di tempat yang oleh para arkeolog Pompeii disebut Casa del Fabbro, atau The Craftsman's House.
Saat ditemukan, posisi kedua jasad telungkup di sudut ruang makan, seolah-olah mereka sedang makan siang ketika letusan terjadi - pada 24 Agustus tahun 79 M.
BACA JUGA:Mengenal Jejak Sejarah Berdirinya Museum Kereta Api Ambarawa
BACA JUGA:Mengungkap Sejarah dari Penemuan Kapak Tangan Purba yang Berusia 200 Ribu Tahun di Utara Arab Saudi
Sebuah studi baru-baru ini menunjukkan bahwa awan abu dari letusan Gunung Vesuvius dapat mematikan bagi penduduk kota dalam waktu kurang dari 20 menit.
Kedua korban yang dipelajari para peneliti, menurut antropolog Dr Serena Viva dari University of Salento, tidak berusaha melarikan diri.
"Dari posisi [tubuh mereka] tampaknya mereka tidak melarikan diri," kata Dr Viva kepada BBC Radio 4's Inside Science. "Penyebab mereka tidak melarikan diri bisa jadi ada hubungannya dengan kondisi kesehatan mereka."
Sekarang, petunjuk telah terungkap dalam penelitian terbaru terhadap tulang-belulang mereka.
BACA JUGA:Mengungkap Sejarah Peradaban Melalui Temuan Kerangka Manusia Tertua di Vietnam
BACA JUGA:Mengungkap Sejarah Penemuan Kerangka Manusia Tertua Berusia 10 Ribu Tahun
"Semuanya tentang pengawetan kerangka," jelas Prof Gabriele Scorrano, dari pusat GeoGenetics Lundbeck di Kopenhagen, yang memimpin penelitian tersebut. "Itu hal pertama yang kami lihat, dan itu tampak menjanjikan, jadi kami memutuskan untuk mencoba [ekstraksi DNA]."