Tanpa persetujuan tertulis dari leasing, proses take over tersebut dianggap tidak sah.
Lebih lanjut, Suwandi menegaskan bahwa jika debitur tidak mampu membayar, ia seharusnya tidak bertindak sepihak.
Debitur harus berkomunikasi dengan perusahaan leasing terkait masalah tersebut.
Melakukan tindakan seperti penjualan atau pengalihan kendaraan tanpa ijin tertulis dapat dikenai sanksi sesuai UU Fidusia, dengan ancaman pidana hingga dua tahun penjara dan denda maksimal Rp50 juta.
BACA JUGA:Perkuat Nilai-nilai Keagamaan dan Kebersamaan di Pagaralam Melalui Safari Ramadhan
Suwandi juga menilai Aiptu FN sebagai penadah karena membeli mobil melalui proses take over yang tidak sah.
Menurutnya, Aiptu FN dapat dikenakan pasal 480 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP) yang mengkategorikan kejahatan penadahan bagi mereka yang membeli barang yang patut diduga berasal dari tindak pidana.
Dalam konteks perilaku debt collector, APPI mengakui bahwa mereka biasanya mengejar debitur yang memiliki kredit bermasalah.
Namun, Suwandi menekankan bahwa tindakan debt collector harus tetap profesional dan tidak semena-mena.
BACA JUGA:Aktifkan Siskamling, Kelurahan Dempo Makmur Dorong Keamanan Lingkungan Pemukiman
APPI juga menyoroti bahwa UU Fidusia mengatur kewajiban pemberi fidusia untuk menyerahkan benda yang menjadi jaminan fidusia apabila debitur melanggar ketentuan.
Ini berarti perusahaan leasing memiliki hak untuk menjual kendaraan yang menjadi objek jaminan fidusia jika debitur tidak memenuhi kewajibannya.
Suwandi menambahkan bahwa sertifikat fidusia memiliki kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan.
Hal ini memungkinkan perusahaan leasing untuk melaksanakan eksekusi jaminan fidusia tanpa harus melalui proses pengadilan.
BACA JUGA:Sinergitas RT/RW, sebagai Pilar Kerukunan Masyarakat di Kelurahan Bumi Agung
Penutupan pernyataannya, Suwandi menekankan pentingnya peran perusahaan leasing dalam mengamankan asetnya, terutama jika ada debitur yang melanggar ketentuan.