Karena Dang Hyang Dwijendra-lah yang memperluas Pura Luhur Uluwatu.
Setelah kita masuk ke jeroan (bagian dalam pura) kita menjumpai bangunan yang paling pokok yaitu Meru Tumpang Tiga tempat pemujaan Dewa Siwa Rudra.
Bangunan yang lainnya adalah bangunan pelengkap saja seperti Tajuk tempat meletakkan upacara dan Balai Pawedaan tempat pandita memuja memimpin upacara.
BACA JUGA:Adakadabra! Inilah 4 Kitab Sihir Paling Tua Dalam Sejarah Dunia yang Pernah Ditemukan
BACA JUGA:Kekayaan Budaya Pulau Yap, Sejarah dan Makna Batu Rai sebagai Mata Uang Tradisional
Upacara piodalan atau hari raya besar di Pura Uluwatu jatuh pada hari Kliwon, wuku medangsia.
Dikisahkan ketika pada suatu hari pada anggara kliwon wuku medangsia Dhangyang Dwijendra diberi wahyu dari Tuhan pada hari itu juga beliau harus pergi ke sorga.
Pendeta Hindu asal Jawa Timur yang juga menjadi bhagawanta (pendeta kerajan) Gelgel pada masa keemasan Dalem Waturenggong sekitar 1460-1550, merasa bahagia karena saat yang dinanti-nantikannya telah tiba.
Namun, pendeta yang juga memiliki nama Danghyang Nirartha itu masih menyimpan satu pusataka yang bakal diberikan kepada putranya.
BACA JUGA:Adakadabra! Inilah 4 Kitab Sihir Paling Tua Dalam Sejarah Dunia yang Pernah Ditemukan
Di bawah ujung Pura Uluwatu, tampak seorang nelayan bernama Ki Pasek Nambangan.
Danghyang Dwijendra meminta agar Ki Pasek Nambangan mau menyampikan kepada anaknya, Empus Mas di desa Mas bahwa Danghyang Dwijendra menaruh sebuah pustaka di Pura Luhur Uluwatu.
Kemudian KiPasek Nambanganpun memberikan sebuah permintaan dari Dhangyang Nirarta.
Kemudian KiPasek Nambangan akhirnya pergi, sementara Dhangyang Dwijendra melakukan tapa yoga semadi.
Selanjutnya Maha Resipun akhirnya moksah (Pergi ke surga tanpa meninggalkan badan kasar) dengan cepat seperti sebuah kilat.