PAGARALAMPOS.COM - Pada zaman dahulu, di sebuah pedalaman hutan yang begitu lebat dan subur, terdapat sebuah keluarga keturunan Si Pahit Lidah.
Si Pahit Lidah sendiri merupakan sosok legendaris yang dibunuh dalam adu kesaktian dengan Si Mata Empat, meninggalkan seorang putra yang diberi nama 'Semidang Sakti'.
Keturunan ini, yang dikenal dengan nama 'Sangga Rujungan', telah mewarisi ketangguhan dan keberanian keluarga mereka sejak zaman dahulu kala.
Kisah Sangga Rujungan ini terdokumentasi dalam tulisan Louis Constant Westenenk dalam buku berjudul 'Waar Mensch en Tijger Buren Zijn', yang diterbitkan pada tahun 1937.
BACA JUGA:Benarkah Si Pahit Lidah dan Gunung Dempo Miliki Magnet yang Kuat? Ini Penjelasanya
Westenenk sendiri adalah seorang pejabat Belanda yang memiliki akar kelahiran di Jawa.
Dia memulai kehidupan di tanah air tersebut sebelum akhirnya kembali ke Belanda pada usia tujuh tahun.
Keturunan Si Pahit Lidah menjalani kehidupan yang memberdayakan pertanian. Mereka mencari lahan pinggiran kota untuk berladang, berkebun, dan membangun rumah.
Lahan-lahan ini sering kali terletak dekat dengan sungai, memudahkan akses ke hutan yang belum dihuni manusia. Jalur yang telah terbentuk oleh gajah sering digunakan sebagai petunjuk.
Salah satu keturunan Si Pahit Lidah yang mencari keuntungan baru adalah Sangga Rujungan.
Mereka mengikuti alur Sungai Padang Guci dan menemukan tempat yang cocok untuk memulai kehidupan baru yang mereka sebut 'Briang'.
Di sini, mereka menebang hutan, membuka ladang, dan memulai pertanian.
Meskipun mereka menghadapi berbagai gangguan, seperti babi hutan dan monyet, serta terkadang gajah yang merusak perkebunan mereka, mereka hidup bahagia.
BACA JUGA:Legenda, Si Pahit Lidah Versus Si Mata Empat, Cerita 2 Jawara Hebat di Masyarakat sumsel?