Atau juga dengan segala dekorasi serta pernak-perniknya, serta pergerakan arah figur dan objek sekitar.
BACA JUGA:Batik Berperan Penting sebagai Alat Diplomasi Budaya
Aspek sound di film The Shining, juga mampu menyeimbangkan visual yang ada.
Kubrick mampu mengatur kapan ada keheningan, atau dialog saja dengan ketenangan akan suasana yang terasing.
Hingga scoring yang terdengar begitu mengganggu, sehingga adrenalin pun bergejolak cepat dalam beberapa adegan tertentu.
BACA JUGA:Kaya akan Budaya, ini Dia 4 Keunikan Budaya Suku Besemah yang Masih Terjaga Kelestariannya
Tidak perlu ada jump scare murahan, tapi berhasil membuat jantung saya berdebar menantikan adegan mengejutkan selanjutnya.
Film The Shining merupakan salahsatu adaptasi terbaik melalui banyak keunggulan dari berbagai aspek dengan level tertentu.
Film ini tetap dapat dinikmati dalam perspektif umum dunia horor, sehingga banyak menginspirasikan film horor cerdas sejenis di ke depannya.
BACA JUGA:Kering Tanpa Budaya? Ini Budaya Pagaralam
The Shining juga diusung-usung sebagai salahsatu film horor klasik arahan sutradara ternama Stanley Kubrick.
Pastinya, hal ini menjadi daya tarik dan nilai plus tersendiri.
Namun, tahukah bahwa sang penulis asli novel justru disebut membenci film Kubrick?
BACA JUGA:8 Suku Asli Kalimantan, Miliki Keanekaragaman Budaya
Memang, seperti adaptasi pada umumnya, beberapa bagian novel diganti ataupun dihilangkan demi apropriasi.
Tetapi bukan hanya itu yang jadi alasan mengapa King membenci film klasik tersebut.