Kasim sendiri, di masa mudanya sudah banyak tampil dalam setiap pementasan tunil. Satu pementasan yang masih diingatnya sampai kini ialah di sebuah dusun di kawasan impit bukit-sekarang masuk Kabupaten Lahat.
Saat itu, Kasim yang berusia 18 tahunan, mementaskan tunil bersama empat orang kawannya di sebuah acara persedekahan. Tunil jadi pilihan sebagai hiburan lantaran masa itu, organ tunggal belum masuk.
Seingat Kasim yang mengaku memiliki bakat turun-temurun bertunil ini, pementasan Tunil ketika itu lumayan menghibur para penonton.
BACA JUGA:Kuntau Suku Besemah, Menggali Kearifan Lokal dalam Seni Bela Diri Tradisional
Kini, di usianya yang tak lagi muda, Kasim masih konsisten untuk tampil di dalam tunil. Penampilannya di Balaikota Pagaralam pada 2015 lalu itu, adalah yang terakhir.
Sejak itu sampai sekarang, dia mengaku belum pernah mementaskan tunil lagi. Tapi dia masih menyimpan asa untuk kembali tampil mementaskan tunil.
“Saya ingin tunil besemah bisa ditampilkan di acara televisi-televisi,” kata dia bersemangat.
Sayangnya, mementakan tunil bukan hanya dibutuhkan latihan yang panjang serta para pemain yang handal saja. Lebih daripada itu, disebutkan Kasim, dibutuhkan dana yang tak sedikit.
Misalkan saja dicontohkannya untuk honor para pemain mulai dari latihan sampai dengan pelaksanaan.
“Kalau pemerintah mau membantu, saya siap untuk mengumpulkan para pemain tunil,”kata Kasim.