Menelusuri Sejarah Benteng Kuto Lamo: Jejak Kejayaan Kesultanan Palembang!
Menelusuri Sejarah Benteng Kuto Lamo: Jejak Kejayaan Kesultanan Palembang!-net:foto-
PAGARALAMPOS.COM - Di tengah hiruk pikuk modernitas Kota Palembang, Sumatera Selatan, berdiri sebuah bangunan tua yang menjadi saksi bisu perjalanan sejarah panjang daerah ini — Benteng Kuto Lamo.
Benteng ini tidak hanya menjadi peninggalan arsitektur kolonial, tetapi juga simbol perjuangan, kekuasaan, dan kebanggaan masyarakat Palembang pada masa lampau.
Asal-Usul dan Pendirian Benteng
Benteng Kuto Lamo diyakini dibangun pada abad ke-18, ketika Kesultanan Palembang Darussalam berada pada puncak kejayaannya. Kata “Kuto Lamo” berasal dari bahasa lokal yang berarti “Kota Lama”.
BACA JUGA:Sejarah Benteng Kalamata: Jejak Portugis di Ternate yang Masih Berdiri Kokoh!
Nama ini menggambarkan bahwa benteng ini merupakan pusat pemerintahan lama sebelum munculnya benteng baru, yaitu Benteng Kuto Besak, yang kini lebih dikenal sebagai ikon Palembang di tepi Sungai Musi.
Benteng Kuto Lamo awalnya dibangun sebagai keraton atau istana kesultanan.
Di tempat inilah para sultan Palembang memerintah, mengatur strategi politik, hingga menjalin hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara.
Letaknya yang strategis di tepi Sungai Musi membuat benteng ini berperan penting dalam sistem pertahanan dan perdagangan. Sungai tersebut menjadi jalur vital bagi distribusi hasil bumi dan rempah-rempah ke wilayah lain.
BACA JUGA:Sejarah Benteng Kota Nica: Jejak Pemerintahan Kolonial dan Saksi Perjuangan di Tanah Papua!
Masa Kolonial dan Peralihan Kekuasaan
Ketika Belanda mulai memperluas kekuasaan di Palembang pada awal abad ke-19, benteng ini menjadi target utama. Tahun 1821, terjadi peristiwa penting yang dikenal sebagai Perang Palembang.
Dalam peperangan itu, pasukan Belanda berhasil menguasai wilayah kesultanan, termasuk Benteng Kuto Lamo. Kekalahan ini menandai runtuhnya kekuasaan Kesultanan Palembang Darussalam.
Setelah menguasainya, Belanda mengubah fungsi benteng ini menjadi pusat pemerintahan kolonial. Struktur bangunan diperkuat dan dimodifikasi dengan gaya arsitektur khas Eropa, tanpa menghilangkan ciri-ciri lokalnya.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
