Kerajaan Pagaruyung: Dari Hindu-Buddha ke Islam dan Runtuhnya Akibat Perang Padri, Begini Sejarahnya!
Kerajaan Pagaruyung, dari Bercorak Hindu-Buddha ke Kerajaan Islam hingga Runtuh saat Perang Padr-net-
Berdasarkan berbagai sumber, Pagaruyung didirikan oleh Adityawarman sekitar tahun 1347 Masehi dengan paham Hindu-Buddha. Pada abad ke-17, kerajaan ini secara resmi beralih menjadi kesultanan Islam di bawah kepemimpinan Sultan Alif.
Sri Sulastri, dalam pendahuluan skripsinya yang menjadi syarat kelulusan S1 Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam di Fakultas Ushuludin, Adab dan Dakwah UIN Syekh Nurjati Cirebon, berjudul "Peran Harimau Nan Salapan Pada Perang Padri Di Minangkabau Pada Tahun 1803-1838", menyebutkan bahwa sebelum berdirinya Kerajaan Pagaruyung, masyarakat Minangkabau sudah memiliki sistem pemerintahan sendiri.
Wilayah Kerajaan Pagaruyung mencakup hampir seluruh Sumatera Barat, serta sebagian Riau dan Sumatera Utara. Kerajaan ini mengalami keruntuhan akibat Perang Padri.
Dalam manuskrip di balik arca Amoghapasa, disebutkan bahwa pada 1347 M, Adityawarman menyatakan dirinya sebagai raja di Malayapura. Meskipun nama Pagaruyung tidak disebutkan dalam banyak catatan sejarah, Adityawarman dianggap sebagai pendiri dari kerajaan ini.
Adityawarman merupakan keturunan campuran Sumatera-Jawa; ayahnya adalah Adwayawarman, seorang bangsawan dari Singasari yang memimpin Ekspedisi Pamalayu, sementara ibunya adalah Dara Jingga, putri dari Kerajaan Melayu. Terdapat pula pendapat lain yang menyatakan bahwa ia adalah putra Raden Wijaya, pendiri Kerajaan Majapahit, dan Dara Jingga. Betapapun, yang jelas Adityawarman adalah keturunan Sumatera-Jawa.
Sebelum mendirikan Kerajaan Pagaruyung, Adityawarman berhasil menaklukkan Bali dan Palembang bersama Mahapatih Gajah Mada, sebagai raja bawahan (uparaja) Majapahit yang ditugaskan untuk menundukkan daerah-daerah penting di Sumatera. Dalam perjalanan, ia berusaha untuk memisahkan diri dari Majapahit hingga terlibat dalam pertempuran sengit di Padang Sibusuk, dan akhirnya ia berhasil meraih kemenangan.
Di bawah pemerintahan Adityawarman dan putranya, Ananggawarman, kerajaan ini mengalami masa kejayaan yang signifikan dengan memperluas kekuasaan ke wilayah Sumatera bagian tengah. Catatan dari China mencatat bahwa antara tahun 1371 hingga 1377, Adityawarman mengirimkan utusan ke Dinasti Ming sebanyak enam kali. Namun, setelah masa Ananggawarman, keturunannya tidak mampu melanjutkan kejayaan yang telah dibangun oleh pendahulunya.
Setelah kematian Adityawarman, Majapahit diduga mengirimkan ekspedisi kembali pada tahun 1409, dan pemerintahan kemudian diambil alih oleh orang Minangkabau sendiri, yaitu Rajo Tigo Selo yang didukung oleh Basa Ampat Balai. Wilayah Siak, Kampar, dan Indragiri pun lepas dan jatuh ke tangan Kesultanan Malaka dan Aceh.
Transformasi Menjadi Kerajaan Islam
Agama Islam mulai diperkenalkan di Pagaruyung sekitar abad ke-16, dibawa oleh para musafir dari Aceh dan Malaka. Salah satu ulama pertama yang menyebarkan Islam di wilayah ini adalah Syaikh Burhanuddin Ulakan, murid dari Abdurrauf Singkil, seorang ulama terkenal asal Aceh.
Memasuki abad ke-17, Pagaruyung resmi beralih menjadi Kesultanan Islam dengan Sultan Alif sebagai raja pertamanya yang memeluk Islam. Banyak aturan adat Minangkabau yang dihapus karena dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.
Dalam perkembangannya, Pagaruyung juga harus mengakui kekuasaan Kesultanan Aceh yang menguasai kawasan Pantai Barat Sumatera. Pada kemudian hari, Pagaruyung meminta bantuan VOC untuk membebaskan diri dari penguasaan Aceh.
Emas yang ada di Pagaruyung berhasil menarik perhatian bangsa-bangsa Eropa, termasuk Belanda dan Inggris. Pada tahun 1684, Gubernur Jenderal Belanda di Malaka mengutus Tomas Dias untuk menuju Pagaruyung. Sejak saat itu, terjalinlah komunikasi serta hubungan perdagangan antara VOC dan Pagaruyung.
Di antara tahun 1795 hingga 1819, Pagaruyung sempat berada di bawah kekuasaan Inggris. Namun, setelah ditandatanganinya Traktat London pada tahun 1824, Belanda kembali memastikan pengaruhnya di Pagaruyung.
Kerajaan Pagaruyung akhirnya mengalami keruntuhan akibat Perang Padri yang berlangsung dari tahun 1803 hingga 1838. Sebelum perang saudara itu meletus, popularitas kerajaan ini sudah mulai menurun.
Sri Sulastri menyebutkan bahwa Perang Padri bisa dianggap sebagai sebuah revolusi intelektual yang dimulai sejak kembalinya tiga haji pada tahun 1803, yang kemudian dikenal sebagai Trio Haji.
Ketiga haji tersebut adalah Haji Miskin, Haji Sumantik, dan Haji Piobang, yang terpengaruh oleh gerakan wahabisme di Makkah antara tahun 1703 dan 1792. Gerakan ini dipelopori oleh Muhammad Ibn Abdul Wahab dan bertujuan untuk murnikan ajaran Islam.
Untuk menghadapi kaum Padri, keluarga Kerajaan Pagaruyung terpaksa meminta bantuan kepada Belanda. Pada tanggal 10 Februari 1821, Sultan Alam Bagagarsyah, raja terakhir Pagaruyung, menandatangani perjanjian dengan Belanda, yang dianggap sebagai bentuk penyerahan.
Dalam perjanjian itu, Belanda berjanji untuk membantu perang melawan kaum Padri, sementara sultan akan menjadi bawahan pemerintah pusat. Belanda bahkan berusaha menaklukkan kaum Padri dengan mendatangkan pasukan dari Jawa dan Maluku. Namun, ambisi Belanda untuk menguasai Pagaruyung justru memicu persatuan antara kaum adat dan pihak kerajaan dalam usaha mempertahankan wilayah mereka.
Akibatnya, Sultan Alam Bagagarsyah ditangkap oleh Belanda pada tahun 1833 dengan tuduhan pengkhianatan dan dibuang ke Betawi. Kerajaan Pagaruyung akhirnya runtuh setelah penandatanganan perjanjian antara kaum adat dan pihak Belanda, yang mengakibatkan kawasan Kerajaan Pagaruyung resmi berada dalam pengawasan Belanda.
Itulah sejarah perjalanan Kerajaan Pagaruyung, yang berawal sebagai Kerajaan Hindu-Buddha, bertransformasi menjadi Kerajaan Islam, dan akhirnya runtuh dalam Perang Padri.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
