Jelang Thanksgiving 2025, Mungkinkah Bitcoin Tembus US$ 200.000?
Jelang Thanksgiving 2025, Mungkinkah Bitcoin Tembus US$ 200.000?-NET-
PAGARALAMPOS.COM - Menjelang perayaan Thanksgiving 2025, pasar kripto kembali ramai membahas prediksi harga Bitcoin (BTC) yang dinilai dapat bergerak dalam rentang sangat lebar, yakni US$ 85.000 hingga US$ 200.000.
Perkiraan tersebut datang dari model kecerdasan buatan (AI) yang digunakan oleh platform analis pasar, termasuk model prediktif seperti ChatGPT.
Lonjakan minat terhadap analisis berbasis AI memicu pertanyaan yaitu bagaimana mesin bisa memperkirakan harga aset yang sangat volatil seperti Bitcoin?
Secara umum, model AI melakukan prediksi dengan menganalisis data historis yang sangat besarmulai dari harga, volume, volatilitas, hingga sentimen pasar.
BACA JUGA:Aplikasi Pengganti ChatGPT Mendadak Ramai Diserbu, Diklaim Lebih Canggih dan Inovatif!
Dalam konteks Bitcoin, model ini memproses ribuan variabel, seperti tren makroekonomi global, kebijakan moneter Amerika Serikat, aliran dana ke ETF Bitcoin, hashrate, hingga dinamika pasokan dan permintaan di bursa spot maupun derivatif.
Metode ini memungkinkan prediksi multi-skenario berdasarkan probabilitas setiap kondisi yang mungkin terjadi.
Meski demikian, rentang prediksi yang sangat luas antara US$ 85.000 dan US$ 200.000 menunjukkan bahwa AI bukanlah alat untuk menentukan angka pasti, melainkan memberikan gambaran risiko dan potensi ekstrem berdasarkan pola yang pernah terjadi di masa lalu.
AI bekerja dengan logika kemungkinan, bukan kepastian, sehingga hasilnya lebih tepat digunakan sebagai indikator arah, bukan patokan harga.
BACA JUGA:Inovasi Terbaru untuk Keamanan Transaksi Digital : E-Wallet Ini Berikan Jaminan 100% Uang Kembali
Skenario bullish ekstrem hingga US$ 200.000 biasanya muncul dari kombinasi faktor fundamental yang saling menguatkan.
Salah satunya adalah arus masuk besar-besaran ke ETF Bitcoin yang dikelola institusi global, terutama jika suku bunga Amerika mulai turun dan likuiditas pasar kembali longgar.
Selain itu, penurunan suplai pasca-halving juga dapat menjadi pendorong utama jika permintaan tetap kuat.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
