Fakta Tersembunyi Jalan Anyer–Panarukan, Dari Ambisi Kolonial Hingga Nestapa Bangs
Fakta Tersembunyi Jalan Anyer–Panarukan, Dari Ambisi Kolonial Hingga Nestapa Bangs-Foto: net -
PAGARALAMPOS.COM - Jalan Raya Pos, yang membentang dari Anyer di ujung barat Pulau Jawa hingga Panarukan di ujung timur, merupakan salah satu proyek paling monumental pada masa kolonial Belanda.
Pembangunannya dimulai pada tahun 1808 di bawah kepemimpinan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels, dengan tujuan utama mempercepat mobilitas pasukan serta memperkuat jalur komunikasi pemerintah Hindia Belanda.
Namun, di balik gagasan modernisasi infrastruktur tersebut, tersimpan kisah pilu yang seringkali terabaikan. Ribuan rakyat pribumi dipaksa bekerja tanpa upah melalui sistem kerja paksa (rodi).
Dengan perlengkapan seadanya, mereka harus menebangi hutan, menggali tanah, serta mengangkut bebatuan dalam kondisi cuaca ekstrem, rawan penyakit, dan minim makanan.
BACA JUGA:Ketika Sejarah Indonesia Nyaris Punah: Kisah Pemberontakan yang Terlupakan
Tak sedikit pekerja yang gugur di lokasi pengerjaan dan tak pernah kembali ke keluarga mereka.
Sejarawan mencatat, korban jiwa dalam pembangunan jalan ini mencapai puluhan ribu orang.
Multatuli (Eduard Douwes Dekker), seorang penulis Belanda, bahkan menyinggung penderitaan rakyat akibat kebijakan kolonial melalui novel terkenalnya Max Havelaar.
Meski tidak secara eksplisit menyebut proyek Jalan Raya Pos, kritiknya memperlihatkan bagaimana dalih “kemajuan” sering kali menutupi praktik penindasan yang merenggut banyak nyawa.
Hingga kini, sebagian ruas jalur Anyer–Panarukan masih digunakan, walau banyak bagian telah berubah fungsi.
BACA JUGA:Menapaki Sejarah di Benteng Patua Tomia: Warisan Penjajahan Belanda yang Sarat Nilai Budaya
Di sepanjang lintasan lama, masih dapat ditemui penanda batu maupun makam tanpa nama yang menjadi saksi bisu penderitaan rakyat.
Sayangnya, kisah kelam ini jarang diangkat dalam kurikulum sekolah, sehingga tidak banyak generasi muda mengetahui bahwa jalan sepanjang lebih dari seribu kilometer ini diselesaikan hanya dalam waktu sekitar satu tahun dengan pengorbanan begitu besar.
Saat ini, ada upaya pelestarian dan rekonstruksi jalur tua tersebut, bahkan sebagian diarahkan sebagai destinasi wisata sejarah.
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
