Mengenal Proses Pengadilan Adat Suku Besemah: Tradisi Hukum yang Menarik dan Berbeda
Catat! Ternyata Begini Cara Suku Besemah Melaksanakan Pengadilan Adat yang Unik dan Menarik -Foto: net-
PAGARALAMPOS.COM – Di kalangan masyarakat Besemah, pengadilan adat memiliki sejarah yang panjang dan unik. Dulu, sistem pengadilan ini memainkan peran penting dalam menyelesaikan sengketa adat dan tradisi, bahkan termasuk hal-hal kecil seperti hukuman terhadap serangga yang terkurung.
Pada periode antara 1959 dan 1960, Satarudin Tjik Olah, yang saat itu bertugas sebagai panitera pembantu di pengadilan adat Besemah, pernah mengalami momen yang menggelikan. Suatu hari, Satar merasa tak tertahan untuk tertawa saat sidang cerai berlangsung.
Sidang ini menghadirkan pertanyaan-pertanyaan dan jawaban yang aneh dari pasangan yang berselisih, yang membuat Satar terpaksa meninggalkan ruangan untuk menenangkan dirinya.
Satarudin yang kini berusia di atas 60 tahun, masih mengingat dengan jelas pengalaman tersebut. Sebagai anggota Lembaga Adat Besemah, dia sering menyaksikan berbagai peristiwa lucu di dalam ruangan sidang.
Pengadilan adat pada masa itu memiliki struktur yang mirip dengan sistem peradilan modern, dipimpin oleh seorang ketua hakim dan dua hakim anggota. Selain itu, terdapat juga pemimpin rapat dan penulis perkara, serta petugas pendamping perkara yang berfungsi mirip dengan pengacara masa kini.
Pengadilan adat Besemah terdiri dari empat tingkat, yaitu rapat marga, rapat kecil, rapat besar, dan rapat tinggi.
Setiap tingkatan berfungsi untuk menyelesaikan masalah yang belum tuntas di tingkat sebelumnya. Hukum yang berlaku saat itu adalah Undang-Undang Simbur Cahye yang ditulis oleh Ratu Senuhun, yang kemudian disalin menggunakan huruf Latin pada masa kolonial Belanda.
Ahmad Bastari Suan menjelaskan bahwa pengadilan adat di Besemah tergolong formal karena sudah memiliki lembaga dan dasar hukum tertulis.
Namun, sebelum sistem formal ini, masyarakat Besemah juga mengenal pengadilan non-formal seperti kumpul dusun laman dan lampek empat merdike duwe, yang menangani kasus-kasus di tingkat lokal.
Peneliti Aryo Arungdinang mengungkapkan bahwa pengadilan adat Besemah merupakan bagian penting dari sejarah lokal, dan sistem ini memang pernah ada dan diterapkan.
Namun, pada masa Orde Lama, pengadilan adat dihapuskan karena dianggap bisa mengurangi kontrol pemerintah pusat terhadap daerah. Penghapusan ini terjadi secara resmi mulai tahun 1961.
Satarudin dan rekan-rekannya kemudian beralih ke pekerjaan di pemerintahan atau pengadilan negeri. Meski demikian, ada harapan di kalangan beberapa pihak, termasuk Satar dan Aryo, bahwa sistem pengadilan adat Besemah bisa dihidupkan kembali di masa depan, mirip dengan apa yang terjadi di Yogyakarta dan Bali.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: