Aneh Bin Ajaib! Dikatakan Menyimpang, Benarkah 4 Budaya Indonesia Ini Melanggar Hukum?

Aneh Bin Ajaib! Dikatakan Menyimpang, Benarkah 4 Budaya Indonesia Ini Melanggar Hukum?

Aneh Bin Ajaib! Dikatakan Menyimpang, Benarkah 4 Budaya Indonesia Ini Melanggar Hukum?--

PAGARALAMPOS.COM - Aneh Bin Ajaib! Dikatakan Menyimpang, Benarkah 4 Budaya Indonesia Ini Melanggar Hukum?

Indonesia merupakan negara dengan berbagai macam keanekaragaman budaya yang unik. 

Keunikan budaya Indonesia telah menjadi daya tarik bagi banyak orang sehingga mampu menciptakan citra positif di masyarakat internasional.

Budaya yang dimiliki oleh suatu daerah akan menjadi identitas sekaligus kebanggan bagi kelompok masyarakat yang meninggalkannya. 

BACA JUGA:Tampil Trendi dan Kaki Terlindungi Maksimal, 5 Rekomendasi Sepatu Safety Pria Terbaik 2023

Akan tetapi, keberagaman budaya yang dimiliki oleh bangsa Indonesia memunculkan cara pandang yang berbeda terhadap suatu permasalahan misalnya kejahatan.

Seringkali ditemukan budaya yang membenarkan suatu kejahatan. Di satu sisi hukum pidana akan memandang setiap kejahatan sebagai perilaku yang perlu diberikan sanksi. 

Berikut merupakan 4 budaya di Indonesia yang melanggar hukum.

1. Budaya Mencuri Duta dari Sumatera Selatan

BACA JUGA:Suku Bangka Belitung, Ternyata Tak Sedikit!

Fenomena Duta muncul dari daerah Sumatera Selatan tepatnya di Kota Kayuagung. 

Masalah kemiskinan yang dialami masyarakat di Kota Kayuagung mendorong masyarakatnya pergi merantau ke luar kota untuk mencari nafkah bagi keluarga dan mempertahankan hidupnya.

Akan tetapi, “mencari nafkah” yang dimaksud oleh para perantau dari Kota Kayuagung adalah menjadi bandit atau pencuri. Dalam masyarakat Kota Kayuagung, mereka yang pergi menjadi bandit atau pencuri di luar kota disebut sebagai duta.

Kesuksesan yang didapat oleh oleh para duta di luar kota sebagai pencuri atau bandit telah memberikan motivasi bagi masyarakat Kota Kayuagung untuk ikut pergi merantau dan terlibat dalam aktivitas kriminal.

BACA JUGA:Ternyata Ada Loh ban Terbaik jadi Langganan!

Keberadaan para duta di lingkungan masyarakat Kota Kayuagung sangatlah diterima. 

Para Duta dianggap memiliki sifat dermawan karena telah membantu perekonomian daerah. Bahkan para Duta yang berangkat ke luar negeri dianggap sebagai “pahlawan devisa” setelah mendapatkan uang dari hasil pekerjaannya sebagai pencuri di negara lain.

Aksi kriminalitas yang dilakukan oleh Duta di luar negeri misalnya pernah terjadi di Malaysia pada tahun 2017 lalu. Pelaku bernama M Ropi Bin Abdul Wahid. 

Ia merupakan warga kelurahan Sidokersa Kecamatan Kayuagung. Dalam aksi pencuriannya, ia tewas setelah mendapatkan tembakan dari Polisi Malaysia

BACA JUGA:Rahasia Misterius di Balik Makam Para Wali di Gunung Salak, Cerita Seram di Tengah Hutan yang Bikin Merinding!

Salah satu yang menarik dari Duta adalah adanya proses ritual yang mereka lakukan sebelum pergi berangkat ke luar kota untuk menjadi pencuri atau bandit seperti sedekahan dan yasinan.

Dalam prosesi ritual tersebut mereka akan mengundang masyarakat sekitar, ketua RT, Lurah, Camat dan para ulama-ulama setempat. 

Hal ini dilakukan agar para Duta yang akan berangkat ke luar kota bisa pulang dengan selamat dan berhasil menjadi sukses.

2. Budaya kekerasan Carok dari Madura

BACA JUGA:Serumpun dan Berada di Pulau yang Sama, Papua dan Papua New Guinea Ternyata Tak Sama dan Banyak Perbedaanya

Budaya kriminalitas lain di Indonesia yang juga terkenal adalah Carok. Budaya Carok berasal dari masyarakat Madura. 

Carok dalam bahasa Kawi Kuno yang artinya perkelahian.

Perkelahian tersebut biasanya melibatkan dua orang atau antar penduduk desa seperti yang sering terjadi di daerah Bangkalan, Sampang, dan Pamekasan. 

Carok dipraktekan dengan bertarung menggunakan celurit sebagai senjata khas masyarakat Madura.

BACA JUGA:Serumpun dan Berada di Pulau yang Sama, Papua dan Papua New Guinea Ternyata Tak Sama dan Banyak Perbedaanya

Faktor yang mendorong masyarakat madura melakukan Carok adalah karena merasa harga dirinya telah direndahkan.

Di dalam masyarakat Madura sendiri terdapat ungkapan yang mengharuskan mereka untuk mempertahankan harga dirinya yaitu Lebbi Bagus Pote Tollang Atembang Pota Mata (lebih baik mati, daripada hidup menanggung malu)

Ketika seseorang memenangkan pertarungan Carok akan disebut ‘semenang’ sedangkan yang kalah disebut ‘sekalah’. 

Pihak yang kalah biasanya akan tewas. Akan tetapi menurut masyarakat Carok pembunuhan yang terjadi tidak berkaitan dengan masalah hukum atau agama.

BACA JUGA:Serumpun dan Berada di Pulau yang Sama, Papua dan Papua New Guinea Ternyata Tak Sama dan Banyak Perbedaanya

Masyarakat Madura tidak akan menyebut seseorang yang berhasil memenangkan Carok sebagai pembunuh. 

Hal ini mengakibatkan tidak ada hukuman seperti sanksi sosial yang diberikan masyarakat terhadap pihak yang memenangkan Carok.

Dalam praktik Carok, pihak yang berkonflik harus membuat perjanjian terlebih dahulu sebelum melakukan pertarungan. 

Akan tetapi seringkali praktik Carok yang dilakukan keluar dari aturan misalnya dengan melakukan penyerangan terlebih dahulu tanpa membuat perjanjian untuk bertarung.

BACA JUGA:MEVVAH! Ini Bus Paling Nyaman Hiasi Jalanan Indonesia, Kek Hotel Berbintang

Sama dengan Carok, Siri Ripakasiri juga merupakan budaya yang dilakukan dengan melakukan kekerasan hingga pembunuhan. Budaya ini berkembang di kalangan masyarakat adat Makassar.

Siri ripakasiri memiliki arti perasaan malu dari seseorang karena martabatnya telah direndahkan oleh orang lain. 

Dalam masyarakat adat Makassar, seseorang yang merasa martabatnya telah direndahkan diharuskan untuk mengembalikan harga dirinya.

Martabat tersebut hanya bisa diperbaiki dengan membunuh orang yang merendahkan harga dirinya. Menurut nilai yang berlaku di masyarakat, seseorang yang telah kehilangan 'siri' (harga diri) tidak lagi dapat dipandang sebagai manusia. Ia dianggap sama rendahnya dengan binatang. 

BACA JUGA:MEVVAH! Ini Bus Paling Nyaman Hiasi Jalanan Indonesia, Kek Hotel Berbintang

Sistem nilai ini memandang lebih baik mati daripada hidup tanpa harga diri dengan memperjuangkan Siri.

Siri Ripakasiri tidak hanya dirasakan oleh pihak yang merasa telah direndahkan harga dirinya, tetapi juga oleh seluruh keluarganya.

Hal ini mengakibatkan 'siri' tidak hanya menjadi kewajiban satu pihak saja melainkan semua anggota keluarga.

Pelaksanaan 'Siri ripakasiri' dapat dilaksanakan kapan saja dan di mana saja meskipun permasalahan antara korban dan pelaku sudah terjadi di masa lalu. 

BACA JUGA:Hebat! Xiaomi Mendobrak Pasar Tablet di Indonesia dengan Produk Terbarunya, Cek Spesifikasi dan Harganya

Bagi masyarakat adat Makassar, budaya ini bukanlah bentuk balas dendam melainkan kewajiban moral adat yang harus dipatuhi.

Kasus 'siri ripakasiri' yang terjadi di Makassar seringkali disebabkan kasus kawin lari yang tidak mendapatkan persetujuan dari orang tua pihak perempuan. 

Selain masalah kawin lari faktor kasus pembunuhan, pemerkosaan, dan pelecehan seksual juga mendorong seseorang melakukan 'siri ripakasiri'.

4. Budaya kawin anak merarik di NTB

BACA JUGA:Tampil Trendi dan Kaki Terlindungi Maksimal, 5 Rekomendasi Sepatu Safety Pria Terbaik 2023

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) menempati urutan ke-7 angka pernikahan anak tertinggi di Indonesia pada tahun 2021 lalu. Tingginya angka perkawinan anak di Nusa Tenggara Barat tidak bisa dilepaskan dari faktor budaya.

Keberadaan budaya merarik di NTB menjadi pemicu tingginya kasus pernikahan dini. 

Dalam tradisi masyarakat Sasak tradisi kawin lari dikenal dengan merarik. 

Masyarakat Sasak mengartikan merarik sebagai proses pernikahan yang didahului dengan membawa lari atau “menculik” seorang gadis sebelum prosesi pernikahan secara agama dan hukum nasional dilaksanakan.

BACA JUGA:Hebat! Xiaomi Mendobrak Pasar Tablet di Indonesia dengan Produk Terbarunya, Cek Spesifikasi dan Harganya

Istilah merarik sendiri berasal dari kata dalam bahasa Sasak. Ada beberapa pendapat mengenai asal kata merarik, di antaranya; “berlari” yang berarti berlari. 

Pihak lelaki nantinya akan membawa lari seorang perempuan untuk dinikahi. 

Makna inilah yang kemudian berkembang menjadi istilah merarik yaitu sebuah tindakan yang dilakukan untuk membebaskan si gadis dari ikatan orang tua serta keluarganya.

Dalam pelaksanaan tradisi merarik, terdapat delapan tahap yang harus dilewati yaitu: 1) midang, merupakan proses kunjungan laki-laki ke rumah, 2) ”Merarik” (kawin lari), yaitu pelarian atau penculikan perempuan dari orang tuanya lalu disembunyikan oleh pelaku, 3) Selabar, yaitu pihak pria melaporkan kepada kepala dusun asal calon pengantin dan pemberitahuan kepada keluarga pihak perempuan bahwa pihak pria telah membawa lari anak mereka, 4) Mbait wali, yaitu menjemput wali untuk menikahkan si perempuan, 5) Akad nikah dengan cara Islam, 6) Mbait janji, yaitu perundingan untuk menentukan waktu pelaksanaan ajikrama atau sorong serah, yang merupakan puncak rangkaian upacara pernikahan, 7) Ajikrama merupakan prosesi simbolis untuk memberi dan menerima pengantin di dalam sebuah perkawinan. 

BACA JUGA:Tampil Trendi dan Kaki Terlindungi Maksimal, 5 Rekomendasi Sepatu Safety Pria Terbaik 2023

8) Terakhir nyongkolan, yaitu iring-iringan kedua mempelai pengantin yang datang ke tempat upacara sambil berjalan kaki dengan diiringi permainan musik tradisional khas Sasak, gendang beleq atau kecimol.

Di satu sisi, praktik Merarik dalam masyarakat NTB sudah dianggap sebagai adat istiadat. Selain itu, budaya merarik juga dilakukan sebagai pembuktian kelaki-lakian, keberanian, keseriusan, dan tanggung jawab seorang laki-laki pada calon istrinya. 

Tidak adanya kejelasan sanksi terhadap praktik perkawinan anak yang telah membudaya dalam masyarakat NTB mengakibatkan hukum pidana nasional sulit untuk mengatasi permasalahan ini. (*)

Artikel ini telah terbit di https://www.idntimes.com/science/discovery/amp/fzn-dwnda/5-budaya-indonesia-yang-ternyata-menyimpang-dari-hukum-c1c2?page=all#page-2

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: