Demi Pertahankan Tradisi Nenek Moyang dan Keturunan, Suku Polahi Tetap Jalankan Pernikahan Sedarah
Demi Pertahankan Tradisi Nenek Moyang dan Keturunan, Suku Polahi Tetap Jalankan Pernikahan Sedarah -Foto: net-
PAGARALAMPOS.COM - Menurut cerita yang ada, Suku Polahi merupakan sekelompok masyarakat Gorontalo yang mengungsi ke hutan pada abad ke-17 untuk menghindari penjajahan dan membayar pajak kepada penjajah Belanda.
Suku ini masih hidup hingga saat ini di hutan pedalaman wilayah Boliyohuto, Paguyaman dan Suwawa provinsi Gorontalo.
Dalam Kamus Bahasa Gorontalo, kata Polahi berasal dari kata Lahi-lahi yang berarti orang yang melarikan diri atau menjadi pengungsi.
Hal ini menggambarkan keadaan suku Polahi saat itu, mereka melarikan diri dari jalur dan tinggal di hutan-hutan, khususnya di lereng gunung Boliyohuto di desa Tamaila Utara, kecamatan Tolangohula, Bupati Gorontalo.
BACA JUGA:Praktis, Cara Mudah Mengatur Rambutmu Biar Tetap Rapih dan On Sepanjang Hari
Menurut catatan sejarah yang ada, suku Polahi sebenarnya adalah penduduk Gorontalo yang mengungsi ke dalam hutan karena pemimpinnya pada masa penjajahan Belanda tidak ingin ditindas oleh penjajah. Itulah sebabnya masyarakat Gorontalo menyebutnya Polahi, yang secara harafiah berarti “orang yang melarikan diri”.
Keadaan tersebut mempengaruhi kondisi suku Polahi dengan kehidupan di dalam hutan.
Meskipun Indonesia telah merdeka, sebagian keturunan Polahi masih memilih tinggal di hutan.
Sikap anti penjajah tersebut turun-temurun dan menyebabkan orang Polahi menganggap orang dari luar suku mereka sebagai penindas dan penjajah.
BACA JUGA:Performa yang Menakjubkan, Ini Ban Motor Terbaik untuk Petualangan Anda di 2023
Namun, yang membuat suku Polahi semakin unik adalah keberlangsungan tradisi perkawinan sedarah dalam budaya mereka.
Berbeda dengan sistem perkawinan umum di mana dua individu dari keluarga yang berbeda menikah tanpa ikatan darah, suku Polahi memiliki budaya sistem kawin sedarah atau sistem perkawinan inses.
Perkawinan sedarah di suku Polahi memungkinkan anggota keluarga untuk menikah dengan sesama anggota keluarga yang memiliki ikatan darah, seperti antara ibu dan anak laki-laki, bapak dan anak perempuan, atau saudara laki-laki dan saudara perempuan.
Sistem ini telah berlangsung sejak zaman kolonial Belanda dan masih dipraktikkan hingga saat ini, meskipun dianggap tidak biasa atau bahkan aneh oleh budaya umum.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: