Dari nama jalan kita bisa tahu bahwa sejarah bukan hitam putih tetapi penuh warna.
Banyak kota di Indonesia kini mulai menggali ulang asal usul nama jalannya bahkan membuat papan keterangan di bawah nama jalan untuk menjelaskan sejarah singkatnya.
Ini dilakukan agar generasi muda tidak hanya lewat tetapi juga belajar dari masa lalu lewat nama yang mereka lihat setiap hari.
Proyek seperti ini tidak hanya dilakukan oleh pemerintah tapi juga komunitas sejarah yang peduli pada identitas lokal.
Kota jadi museum terbuka yang bisa diakses siapa saja kapan saja.
Beberapa jalan memang sempat berganti nama karena alasan politis atau simbolik namun masih banyak warga yang menyebut nama lamanya karena sudah terbiasa.
Hal ini menciptakan lapisan memori kolektif di antara masyarakat kota yang menyimpan nostalgia dan cerita dari zaman ke zaman.
Misalnya warga Jakarta lama masih menyebut Jalan MH Thamrin dengan nama Kramat atau orang Surabaya yang tetap mengenal Jalan Tunjungan sebagai pusat perbelanjaan klasik.
Nama jalan bukan sekadar label tapi bagian dari identitas kota.
Melalui nama jalan kita bisa membaca bagaimana kota tumbuh berubah dan tetap membawa warisan masa lampau.
Jalan yang dulunya tempat pawai serdadu Belanda kini jadi jalur demonstrasi mahasiswa atau tempat pedagang kaki lima menjajakan dagangan.
Semua itu menjadi ironi sekaligus simbol bahwa sejarah selalu hidup berdampingan dengan kehidupan masa kini.
BACA JUGA:Jejak Sejarah Danau Limboto: Permata Alam Gorontalo yang Kini Terancam Hilan
Dari trotoar ke papan nama setiap sudut kota menyimpan kisah yang layak diceritakan ulang.